Jakarta, 31 Mei 2024 – Di tengah krisis iklim, dunia terus menyerukan pemanfaatan energi terbarukan dan mendorong penghentian (phase out) pembangunan dan penggunaan energi fosil, termasuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, yang merupakan salah satu sumber terbesar emisi karbon. Dalam pelaksanaannya, pemangku kepentingan perlu mengantisipasi aset mangkrak (stranded asset) energi fosil.
Aset mangkrak energi fosil menjadi salah satu risiko yang perlu diantisipasi dalam proses peralihan ke energi terbarukan. Farid Wijaya, Analis Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, aset mangkrak dapat berupa bangunan, peralatan dan permesinan, transportasi dan logistik serta aktivitas industri yang bergantung pada bahan bakar fosil.
“Di Indonesia, hampir 85 persen aset mangkrak diperkirakan berupa proses hulu industri eksplorasi bahan bakar fosil. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan aset mangkrak di antaranya, peraturan pemerintah baru yang membatasi penggunaan bahan bakar fosil, seperti penetapan harga karbon, kenaikan dan fluktuasi bahan bakar fosil akibat geopolitik dan cadangan suplai, serta perubahan permintaan peralihan ke energi terbarukan karena biaya energi yang lebih rendah,” ujar Farid Wijaya dalam acara forum diskusi terpumpun Pembangunan Energi Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada Selasa (28/5/2024).
Farid menegaskan, aset mangkrak dapat diminimalisir dengan dibentuknya peta jalan energi terbarukan. Mengutip kajian IRENA, pembuatan peta jalan transisi energi dengan penggunaan energi terbarukan yang rincidapat memberikan gambaran yang jelas mengenai langkah yang perlu diambil oleh para pemangku kepentingan.
“Beberapa mitigasi risiko juga perlu dilakukan dalam transisi energi. Pertama, pemetaan dan analisis dari risiko, seperti pemetaan kerangka kebijakan, peta jalan dan strategi nasional dan dampaknya terhadap aset. Kedua, analisa dan konseptualisasi opsi mitigasi, misalnya saja memahami nilai aset keseluruhan. Ketiga, mengidentifikasi faktor penentu (key enabler) mengatasi risiko aset mangkrak,” ujar Farid.
Menurut Farid, penggunaan gas bumi bisa menjadi alternatif jangka pendek hingga menengah dalam memanfaatkan aset yang berpotensi mengalami aset mangkrak. Mengutip data IRENA, gas bumi diperkirakan akan tetap digunakan hingga 2050 sebanyak hampir 7 persen dari total komoditas perdagangan energi. Hal ini didorong karena pengembangan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage dan Carbon Capture Utilization and Storage) untuk menangkap emisi karbon baik pembakaran pada pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTG) atau produksi hidrogen biru, dengan penangkapan karbon mencapai di atas 95 persen.
“CCS/CCUS berperan dalam pemanfaatan gas bumi dan bahan bakar fosil lainnya, namun ada potensi keterbatasan dari segi kebijakan dan regulasi karena masih berbasis bahan bakar fosil dengan performa yang harus dikontrol secara ketat. Selain itu, konservasi energi menjadi bagian penting dalam upaya dekarbonisasi yang perlu diadopsi karena mudah dilakukan dan minim biaya,” kata Farid.
Farid menilai, konservasi energi perlu dilaksanakan pada seluruh tahap pengelolaan energi, yang meliputi pengelolaan sisi hulu yang bertujuan untuk melestarikan sumber daya energi dan pengelolaan sisi hilir yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi energi. Pelaksanaan program konservasi energi dilakukan oleh berbagai sektor dari penyedia energi, industri, transportasi dan bangunan dengan target berdasarkan kebijakan energi nasional (PP No 79 Tahun 2014), yakni penurunan intensitas energi final satu persen per tahun serta penurunan konsumsi energi final 17 persen dari business as usual (BAU).
aset mangkrak, energi fosil, transisi energi, PLTU batubara, Carbon Capture Storage (CCS), konservasi energi, mitigasi risiko aset mangkrak