Liputan6.com, Jakarta – Ketidaksepakatan mengenai target kelistrikan dalam program 35 ribu Mega Watt (MW) antara Menteri Kordinator Bidang Maritim Rizal Ramli dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) lebih disebabkan karena kedua pihak mencoba untuk berpikir realistis dan bukan karena masalah isu politik.
Pengamat ketenagalistrikan dari Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai, konflik tersebut bukan karena ada isu politis terkait peran perusahaan JK dalam proyek-proyek 35 ribu MW. “Saya kira tidak,” kata Fabby, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Jumat (21/8/2015).
Fabby pun menjelaskan, dari kapasitas 35 ribu MW, porsi pembangunan pembangkit 10 ribu MW dilakukan oleh PT PLN (Persero) sedangkan porsi sisanya 25 ribu MW dikerjakan oleh swasta (Independent Power Producer/IPP).
Fabby memperkirakan tak semua pembangunan pembangkit yang dikerjakan oleh swasta dilakukan perusahaan JK. “Dari 35 ribu MW itu 10 ribu MW dibangun oleh PLN dan sisanya investor. Jadi yang 25 ribu itu dibangun swasta. Tambahan itu IPP bukan dari milik Pak JK,” ungkapnya.
Menurutnya, peran pihak swasta dalam pembangunan proyek pembangkit listrik seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Pasalnya, kebutuhan listrik saat ini sangat mendesak.
Ia menambahkan, saat ini Indonesia terancam defisit listrik karena itu butuh kecepatan pembangunan pembangkit untuk mencukupi kebutuhan. “Menurut saya begini, kita butuh listrik, pemerintah kerjalah untuk memenuhi. Jangan sampai kita defisit listrik,”pungkasnya.
Oleh sebab itu, Fabby merasa bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla tetap berpegang teguh untuk membangun pembangkit lsitrik 35 ribu MW karena memang kebutuhan akan listrik di Indonesia terus bertumbuh dan harus dipenuhi oleh negara.
Sedangkan menurutnya, Rizal Ramli melihat bahwa secara hitung-hitungan atau secara teori sulit untuk mencapai target tersebut. (Pew/Gdn)
Sumber: liputan6.com.