Samarinda, 15 Oktober 2025 – Sinkronisasi antar aktor menjadi kunci utama mendorong transisi energi berkeadilan, disertai dengan penguatan kapasitas sumber daya manusia. Peningkatan kapasitas ini tidak hanya sebatas keterampilan teknis, tetapi juga kemampuan untuk mengembangkan semangat kewirausahaan (entrepreneurship). Dengan begitu, transisi energi dapat diwujudkan secara berkeadilan dan memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat luas. Hal ini dikatakan Yusuf Suryanto, Direktur Transmisi, Ketenagalistrikan, Kedirgantaraan, dan Antariksa, Kementerian PPN/Bappenas dalam sambutannya di ISEW 2025 hari ketiga pada Rabu (15/10/2025).
“Transisi energi yang berkeadilan bukan hanya tentang memenuhi komitmen global dalam menurunkan emisi, tetapi juga membuka peluang bagi investasi hijau yang dapat memperkuat perekonomian daerah. Dengan demikian, langkah-langkah strategis yang dihasilkan dari diskusi dan sesi-sesi di Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2025 diharapkan mampu menjadi dasar bagi perumusan kebijakan dan implementasi nyata di lapangan,” kata Yusuf.
Martha Jesica, Koordinator Riset Kelompok Sosial, Kebijakan dan Ekonomi, Institute for Essential Services Reform (IESR) menegaskan, di wilayah penghasil batu bara seperti Kabupaten Paser (Kalimantan Timur) dan Muara Enim (Sumatera Selatan), ketergantungan ekonomi terhadap sektor tambang masih sangat tinggi. Sekitar 70% PDRB Paser berasal dari sektor batu bara, dengan 7–15% penduduknya bekerja langsung di sektor ini. Pendapatan daerah juga bergantung pada dana bagi hasil sumber daya alam, mencapai 20% di Muara Enim dan 27% di Paser.
“Ketimpangan kesejahteraan pun masih terasa. Rasio kemiskinan yang cenderung meningkat menandakan adanya kerentanan sosial saat daerah mulai memasuki fase transisi energi. Selain itu, keterlibatan publik dalam perencanaan masih terbatas karena sebagian besar kewenangan pertambangan berada di pemerintah pusat. Dampaknya, banyak daerah penghasil tambang tidak memiliki kendali penuh terhadap arah pembangunan ekonominya,” ujar Martha.
Tidak hanya itu, Martha juga menyoroti peran perempuan dalam sektor batu bara menunjukkan dinamika yang kompleks. Data IESR pada tahun 2023 menunjukkan bahwa di perusahaan tambang besar seperti Kideco, hanya sekitar 15% dari total karyawan adalah perempuan. Dari 722 karyawan pada tahun 2022, hanya 109 di antaranya perempuan, dan tidak ada perempuan yang menduduki posisi direksi.
“Beban sosial dan lingkungan akibat aktivitas tambang juga lebih banyak ditanggung oleh perempuan. Mereka bertanggung jawab atas air, makanan, dan kesehatan keluarga. Di Desa Samurangau, ibu-ibu Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) mencatat tingginya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) pada anak-anak dan lansia serta kesulitan mengakses air bersih. Situasi ini mendorong munculnya organisasi perempuan lokal seperti Bawe Paser, yang berperan sebagai wadah advokasi dan solidaritas komunitas,” papar Martha.
Berkaca dari kondisi tersebut, Martha mengatakan, organisasi masyarakat sipil memiliki peran penting dalam memastikan transisi energi yang adil dan inklusif. Berdasarkan catatan IESR (2023–2024), kontribusi mereka mencakup empat aspek utama, pertama advokasi dan pengaruh kebijakan, dengan mendorong pemerintah agar kebijakan transisi energi mempertimbangkan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Kedua, peningkatan kapasitas, literasi, dan kesadaran, melalui pelatihan, kampanye publik, dan pendidikan energi di tingkat lokal. Ketiga, monitoring dan akuntabilitas, untuk memastikan proses transisi berjalan transparan dan berpihak pada masyarakat. Keempat, kemitraan dan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, media, dan komunitas lokal untuk memperkuat sinergi dalam pelaksanaan transisi energi.