Komunitas Jejak Karbon, begitu nama yang diberikan booth Institute for Essential Services Reform (IESR) saat mengikuti Festival Environment Edutainment Day, yang diselenggarakan oleh Sentra System Consulting, di di Bumi Perkemahan Cibubur, dua pekan lalu (16/06)
Pada mulanya, memang terasa agak memberatkan dengan nama ini, karena memang tidak ada komunitas jejak karbon di IESR, dan takutnya, diluar sana sudah ada komunitas dengan nama ini. Tapi karena panita bersikukuh bahwa dua tahun lalu IESR juga menggunakan nama ini untuk festival yang serupa maka sekarang pun digunakan dengan nama yang sama.
Tapi rupanya, nama ini memang menarik perhatian banyak pengunjung. Apalagi di booth IESR lebih banyak menampilkan pamflet mengenai kemiskinan energi, karbon kalkulator dan buku panduan bagi masyarakat mengenai subsidi energi. Sementara di stand lain lebih menampilkan tentang pengelolaan sampah dan hasil kerahajinannya.
“Jejak karbon itu apa ya? Bentuknya seperti apa?” demikian pertanyaan para pengunjung pengujung. Dengan menggunakan media Carbon Wheel para pengujung mendapat penjelasan bahwa jejak karbon adalah jumlah karbon (emisi) yang tertinggal di udara akibat kegiatan yang dilakukan manusia sehari-hari, seperti menggunakan alat penerangan, komputer ataupun kendaraan.Emisi ini kemudian terperangkap di lapisan atmosfir dan menyebabkan terjadinya kenaikan pada suhu di permukaan bumi.
“Terkadang, kita tidak sadar kalau kegitan kita sehari-hari bisa menyumbang untuk peningkatan emisi di udara” ujar Yesi Maryam dari IESR, seperti lupa mematikan lampu, televisi atau komputer, padahal perlengkapan tersebut tidak sedang digunakan.
Selain menyumbang emisi yang berlebih, kegiatan ini juga memboroskan energi. Sementara di beberapa wilayah lain di Indonesia, masih banyak masyarakat yang kekurangan energi atau miskin energi, seperti yang terjadi di Cianjur Jawa Barat.
Bagi kebanyakan pengunjung, kemiskinan energi menjadi satu pengetahuan baru, karena ternyata pasokan energi di Indonesia terlihat tidak merata, dan energi lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat di kota-kota besar atau mereka yang mampu membeli pasokan energi.
“Wah, kasihan juga, ada sebagian masyarakat yang mampu membayar energi, tapi pasokannya tidak ada,” ujar seorang pengunjung.
Selain itu, karena pemerintah masih memberikan subsidi yang cukup besar untuk sektor energi seperti BBM dan listrik, menyebabkan harga energi menjadi relatif murah, dan hal ini cenderung membuat masyarakat untuk membuang energi tanpa mereka disadari. Lihatlah, betapa banyak masyarakat yang rela berjam-jam antri dalam kemacetan saat mereka berlibur ke luar kota atau menikmati kemacetan di jalan raya ibukota.
Penjelasan ini, bagi sebagian pengujung menjadi pengetahuan baru, karena selama ini mereka mereka menganggap bahwa perilaku yang mereka lakukan tidak akan berdampak bagi bagi lingkungan dan masyarakat lainnya. Setelah mendapat penjelasan ini mereka akhirnya juga bersedia untuk membuat komitmen dengan merubah gaya hidup yang lebih ramah terhadap lingkungan. Sebanyak 12 pengunjung bersedia mengubah gaya hidupnya dengan cara mengurangi durasi menonton televisi, mengurangi penggunaan lampu yang tidak perlu serta kegiatan lain seperti berkebun, berjalan kaki dan menggunakan kendaraan umum.