Jakarta, 10 September 2021-Sejak bulan Januari 2021, DPR RI Komisi VII menyiapkan naskah akademis RUU EBT dan saat ini sedang dalam proses konsolidasi. RUU ini dianggap penting untuk memberikan kepastian hukum untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Meskipun, bahkan hingga saat ini beberapa pihak menyatakan keberatan atas substansi ataupun mempertanyakan urgensi dari UU ini.
Perkembangan energi terbarukan di Indonesia sendiri selama lima tahun terakhir kurang menggembirakan. Rata-rata penambahan kapasitas terpasang per tahunnya hanya sekitar 400 MW. Padahal Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai 23% energi terbarukan pada bauran energi primer di tahun 2025. Saat ini sendiri pencapaian Indonesia masih di kisaran 11-12%. Dengan waktu yang semakin sempit, diperlukan berbagai strategi untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Bekerjasama dengan Universitas Katolik Soegijapranata, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan webinar bertajuk “RUU Energi Baru dan Terbarukan: untuk Siapa?”. Webinar ini bertujuan untuk menggali perspektif berbagai bidang dan harapannya dapat merumuskan rekomendasi untuk RUU ini.
Dalam sambutan pembukanya, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengingatkan pentingnya publik tahu tentang Rancangan Undang-Undang EBT ini dan memiliki ruang dan kesempatan untuk memberikan pandangannya pada RUU ini.
“Di tengah kondisi Indonesia saat ini yang mengejar net-zero emissions 2060 atau lebih cepat, pengembangan energi terbarukan menjadi salah satu kunci tercapainya target ini. Peran RUU EBT ini menjadi penting di sini,” jelas Fabby.
Sonny Keraf, Menteri Lingkungan Hidup Indonesia tahun 1999 – 2001, mengungkapkan bahwa permasalahan energi terbarukan yang progresnya lambat itu bukan masalah di peraturan, melainkan ada pada keseriusan pemerintah untuk bertransisi dari energi fosil ke energi bersih.
“Jadi jika pertanyaan besarnya adalah apakah kita memerlukan UU EBT ini? Jawabannya bisa jadi tidak. Karena kita sudah punya cukup banyak peraturan yang mengatur tentang energi secara rinci,” ucapnya.
Irine Handika, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, memiliki argumen senada dengan Sonny. Dari aspek legal ada beberapa hal yang menurutnya problematik dari RUU EBT ini. Salah satunya istilah ‘energi baru’ yang menurutnya akan membuat UU ini mati sebelum lahir. Hal ini karena parameter ‘energi baru’ sendiri tidak pasti.
“Kami melihat saat ini permasalahan utama ada di level implementasi dari aturan-aturan tentang energi yang ada, jadi membuat undang-undang baru mungkin bukan solusi yang tepat. Kalaupun dianggap ada hal yang belum tercover di peraturan yang sudah ada, solusi yang bisa diambil adalah revisi atau amandemen dari peraturan atau UU yang saat ini sudah ada,” jelas Irine.
Di lain pihak, Kardaya Warnika, DEA, anggota DPR RI Komisi VII menjelaskan bahwa RUU EBT bertujuan untuk memberikan kepastian hukum untuk pengembangan EBT ke depan. Kelak UU ini diproyeksikan untuk menjadi pedoman pencapaian target EBT nasional.
“Kami melihat gelora transisi energi ini kan sangat besar, UU ini adalah satu cara negara hadir untuk memimpin proses transisi energi. Saya sepakat bahwa progres EBT jelek karena pemerintah kurang berpihak pada EBT, padahal negara harus hadir dan memimpin proses transisi energi. Maka harapannya UU ini akan memberi kepastian hukum selama-lamanya untuk pengembangan energi terbarukan,” tukas Kardaya.
Keberpihakan UU baru akan sungguh terlihat saat naskah UU jadi, namun kita perlu memastikan substansi dari RUU EBT ini tidak kontraproduktif dari cita-cita dekarbonisasi Indonesia untuk menjadi net-zero emission pada tahun 2060.