Gianyar, 21 Mei 2025 – Pengembangan energi terbarukan menjadi langkah krusial seiring komitmen Bali menuju net zero emission (NZE) 2045. Pulau Dewata, yang selama ini dikenal dengan keindahan alam dan budayanya, kini juga tengah bertransformasi menjadi pelopor dalam transisi energi bersih di Indonesia. Dorongan untuk meninggalkan ketergantungan pada energi fosil semakin kuat seiring dengan kebutuhan akan sistem energi yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan berkeadilan bagi masyarakat.
Untuk melihat lebih dekat perkembangan energi terbarukan yang diterapkan, baik di sektor industri maupun masyarakat, Dinas Tenaga Kerja dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Bali bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Jelajah Energi Bali pada 20–24 Mei 2025. Pada hari kedua kegiatan ini, rombongan mengunjungi Desa Keliki dan Desa Puhu yang menjadi contoh nyata desa mandiri energi, di mana kearifan lokal bertemu dengan inovasi teknologi demi masa depan Bali yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Sang Surya Mengaliri Sawah dan Mengolah Sampah
Udara sejuk dan angin yang berhembus pelan menyambut rombongan Jelajah Energi Bali saat tiba di Desa Keliki, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar. Terletak sekitar 31 kilometer dari Kota Denpasar dengan waktu tempuh sekitar satu jam lebih sedikit, desa ini menghadirkan suasana yang menenangkan. Jalanan kecil yang dikelilingi pepohonan rindang, sawah hijau yang terbentang luas, dan suasana asri membuat siapa pun betah berlama-lama. Keliki bukan sekadar desa wisata yang asri, desa ini kini menjadi contoh nyata perwujudan energi bersih di tingkat akar rumput.
Kepala BUMDes Yowana Bakti Desa Keliki, I Wayan Sumada menjelaskan Desa Keliki memiliki tujuh subak (sistem irigasi khas Bali) yang kini telah mengandalkan PLTS untuk mengairi sawah mereka, termasuk Subak Tain Kambing, Subak Uma Desa Sebali, hingga Subak Lauh Batu yang membentang seluas 32 hektare.
“Dari program energi bersih ini, kita bisa menghemat untuk keperluan air bersih yang ada di pura. Karena di sini, di pura Subak ini kegiatannya selama panen ini hampir lebih dari 3-4 kali kegiatan upacaranya,” tutur I Wayan Sumada
Sumada menyatakan, panel surya ini dimanfaatkan terutama saat musim kemarau, sekitar bulan Mei hingga September. Ketika hujan jarang turun dan permukaan air sungai menyusut, warga Desa Keliki tetap bisa mengaliri sawah mereka dengan memompa air dari sumur dalam.
“Kami memiliki sumur dengan kedalaman 50 meter untuk pengairan sawah. Airnya ini bisa diminum karena kami sudah melakukan uji sanitasi. Saat kemarau, kami buat sistem giliran. Hari ini kelompok satu, besok kelompok dua. Dengan bantuan PLTS, kami tidak harus merusak saluran atau berebut air lagi,” ujar Sumada.
Selain pemanfaatan PLTS untuk mengaliri sawah, Desa Keliki juga memiliki Inisiatif pengolahan sampah terpadu, atau yang dikenal sebagai Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, Recycle (TPS3R). Inisiatif ini dimulai pada tahun 2020, dengan dukungan Corporate Social Responsibility (CSR) BUMN serta pendampingan dari Yayasan Bumi Sasmaya melalui program Merah Putih Hijau (MPH).
“TPS3R ini menangani sampah dari 90 kepala keluarga di Desa Keliki, dengan volume harian antara 500 hingga 1.000 kilogram. Sampah berasal dari rumah tangga, warung, restoran, hingga sisa-sisa upacara adat khas Bali seperti janur, bunga, dan daun-daunan,” tegas Sumada.
Menurut Sumada, dalam pelaksanaan TPS3R ini, warga telah dibiasakan memilah sampah ke dalam tiga kategori yakni organik, anorganik, dan residu. Pemilahan dilakukan di rumah masing-masing sebelum diangkut oleh petugas TPS3R.
“Sampah organik yang besar-besar akan dicacah terlebih dahulu. Setelah itu, kami lakukan pengomposan di halaman TPS3R. Proses pengomposan dilakukan dengan metode berlapis yakni lapisan pertama sampah kering, lalu sampah basah, disusun hingga enam lapisan. Setelah didiamkan dua minggu, tumpukan sampah dibalik dari bawah ke atas selama 12 minggu. Di minggu ke-6, tumpukan disemprot eco-enzyme untuk mempercepat dekomposisi. Hasilnya jadi pupuk organik, kami berikan gratis untuk petani,” kata Sumada.
Sementara itu, untuk sampah anorganik seperti plastik dan logam dipilah, dikumpulkan, lalu dijual ke pengepul. Adapun sampah residu yang belum bisa didaur ulang akan dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Ubah Kotoran Ternak Jadi Biogas
Rombongan Jelajah Energi Bali disambut oleh udara sejuk, cuitan burung, dan hijaunya pepohonan yang membentang di setiap penjuru desa. Sambutan hangat warga semakin menambah suasana teduh khas pedesaan Bali. Desa Puhu bukan desa biasa. Ia dikenal sebagai salah satu desa binaan biogas, tempat di mana energi bersih dan kearifan lokal berpadu dalam harmoni. Di antara rumah-rumah warga, tersembunyi sebuah kisah inspiratif dari seorang peternak bernama I Ketut Sepot, yang mengolah kotoran babi menjadi biogas. “Pada tahun 2008, salah satu tetangga berinisiatif membuat biogas di rumah. Saya penasaran bagaimana dia bisa membuat kotoran ternak bisa jadi bahan bakar, saya datang kesana dan belajar sistem biogas untuk bisa lebih hemat, daripada kotoran ternak saya hanya dibuang saja di kebun,” ujar Sepot.
Rasa ingin tahu itu mengantarkan Sepot membangun sendiri sistem sederhana pengolahan biogas di halaman belakang rumahnya. Dengan modal awal sekitar Rp5 juta, ia menggali bak penampungan berkedalaman 2 meter, panjang 2,5 meter, dan lebar 1,5 meter. Enam ekor babi peliharaannya menjadi “pemasok utama” bahan baku energi tersebut.
Sepot menceritakan, awalnya ia harus mengangkut kotoran secara manual setiap hari. Tapi seiring waktu, ia menyempurnakan sistemnya. Kini, kotoran langsung mengalir dari kandang ke bak penampungan melalui pipa, membuat prosesnya jauh lebih efisien.
“Kalau dulu posisinya sejajar dengan kandang, jadi kewalahan ambil kotorannya. Sekarang sudah pindah babinya di atas dan kotorannya langsung masuk lubang. Sistemnya lebih baik dan hasilnya juga optimal,” jelasnya.
Bak sederhana milik Sepot bisa menghasilkan gas yang cukup untuk menyalakan dua kompor sekaligus selama 1,5 jam non-stop. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk mengisi ulang. Hebatnya lagi, tak ada bau menyengat dari hasil pembakaran, prosesnya bersih dan aman.
“Kalau masak bisa non stop 1,5 jam dan tidak ada aroma. Semuanya sudah aman. Kalau habis, tunggu sekitar 30 menit, setelah itu digunakan lagi,” ujarnya.
Kendati demikian, pengolahan kotoran ternak menjadi biogas ini belum bisa dinikmati warga sekitar. Biaya pembangunan dan kapasitas bak menjadi tantangan utama.
“Belum bisa disalurkan ke tetangga karena kapasitasnya kecil. Tapi saya tetap pakai untuk diri sendiri dan keluarga,” katanya.
Bagi Sepot, kotoran babi bukan limbah, tapi potensi. Selain menghasilkan gas untuk memasak, sisa endapan dari bak penampungan ia manfaatkan sebagai pupuk untuk kebun. Ia melakukan pengerukan rutin setiap tiga bulan agar sistemnya tetap berjalan lancar.