Jakarta, 21 Agustus 2024 – Industri PLTS di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, di antaranya permintaan (demand) yang kecil, dan kurangnya investasi. Kebutuhan untuk dukungan kebijakan yang jelas untuk mempercepat perkembangan industri surya sehingga mencapai skala gigawatt di Indonesia menjadi pembahasan utama dalam Indonesia Solar Summit (ISS) 2024.
Dwi Hadiyatmoko, Tim Temu Bisnis dan Perencanaan, Pusat P3DN, Kementerian Perindustrian menjelaskan bahwa saat ini terdapat 18 perusahaan panel surya yang beroperasi di Indonesia, dan memiliki kandungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) mencapai 47 persen. Tantangan terbesar industri surya Indonesia disebabkan karena rantai pasok industri PLTS belum sepenuhnya berada di Indonesia.
“Kita masih harus meningkatkan performa teknis seperti modul surya. Produsen modul surya Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI) memproduksi modul dengan efisiensi 16 persen dengan kapasitas 450 Wp, kebutuhan modul saat ini adalah efisiensi 21 persen dengan ukuran modul 600 Wp artinya produk yang ada belum menjawab kebutuhan pasar. Dibutuhkan investasi untuk meningkatkan kualitas ini,” katanya.
Dari sisi pelaku industri, Wilson Kurniawan, Chief Finance Officer (CFO) Trina Mas Agra Indonesia mengakui bahwa masih terdapat sejumlah tantangan bagi industri manufaktur.
“Beberapa kebijakan yang perlu segera didorong pemerintah yaitu perluasan dan percepatan eksekusi permintaan (demand), percepatan rantai pasokan industri kelas panel surya, dan perlindungan industri lokal dari pemerintah,” kata Wilson.
Posisi Indonesia sebagai negara yang ekonominya sedang bertumbuh (emerging economy) merupakan suatu daya tarik tersendiri bagi investor. Wu Fei, Chairman Suntech Power menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi pasar (energi surya-red) yang sangat besar.
“Untuk memenuhi persyaratan pemerintah tentang kandungan lokal 60 persen yang dikenal sebagai TKDN 60 persen kami memutuskan untuk membangun pabrik secara lokal di Indonesia dengan beberapa bahan yang kami bawa dari berbagai tempat,” jelas Wu Fei.
Grant Hauber, Energy Finance Advisor, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh terjebak hanya pada agenda menumbuhkan industri panel surya di Indonesia, faktor kunci yang harus dipastikan adanya pengadaan proyek yang pasti.
Menurutnya, permintaan (demand) inilah yang belum ada di Indonesia. Ia menuturkan cara-cara yang dapat diambil pemerintah antara lain dengan, (1) menggerakkan industri seperti RE100 dan pelanggan untuk mendapatkan listrik bersih, (2) merampingkan proses pengadaan dengan menghilangkan kepemilikan saham PLN, (3) menstandardisasi proyek pengadaan (Indonesia membutuhkan ratusan proyek bukan satuan), (4 TKDN yang realistis, fokus pada total persentase dari biaya yang diberikan.
Norasikin Ahmad Ludin, Solar Energy Research Institute (SERI) , Universiti Kebangsaan Malaysia menyatakan bahwa energi surya akan menjadi tumpuan pemenuhan kebutuhan energi di masa depan.
“Malaysia diperkirakan akan mengalami kenaikan permintaan listrik sebanyak empat persen kami mencari berbagai alternatif cara untuk memenuhi kebutuhan energi ini. Pemerintah (Malaysia-red) menargetkan 21 persen energi terbarukan pada tahun 2025, sebanyak 18 GW PLTS berpotensi untuk dipasang untuk mengejar target ini,” katanya.
Indonesia Solar Summit 2024 diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta bermitra dengan RE100. Indonesia Solar Summit (ISS) tahun 2024 bertema “Membangun Rantai Pasok PLTS Indonesia untuk Mempercepat Transisi Energi dan Mendukung Industri Hijau”. ISS 2024 merupakan bagian pra-acara Indonesia Sustainability Forum 2024.