Jakarta, 8 Maret 2024 – Komitmen transisi energi Indonesia secara resmi dimulai sejak tiga tahun lalu saat Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengeluarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang menargetkan adanya penambahan kapasitas energi terbarukan sebagai salah satu prasyarat tercapainya net zero emission Indonesia pada 2060, secara khusus sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050.
Dalam sesi Market Review, Jumat 8 Maret 2024, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa pengembangan energi terbarukan merupakan suatu keniscayaan. Pemerintah melalui sejumlah kebijakan seperti RUPTL 2021, dan Perpres 112/2022 telah mencanangkan penambahan kapasitas energi terbarukan sekaligus komitmen untuk tidak lagi membangun PLTU baru kecuali yang sudah dalam proses kontrak.
“Komitmen-komitmen ini harus diturunkan sampai ke rencana teknis dan ekonomis yang dapat dijalankan. Oleh karena itu proses revisi RUKN dan RUPTL yang saat ini sedang berlangsung menjadi sangat penting,” kata Fabby.
Dalam RUPTL 2024 – 2040, PLN berencana menambah kapasitas pembangkit energi terbarukan hingga 80 GW. Rencana ini akan membawa konsekuensi adanya kenaikan signifikan untuk energi terbarukan dari saat ini sekitar 9 GW menjadi 70 GW.
Fabby menambahkan semangat dan ambisi ini perlu dikawal publik mengingat catatan pemerintah untuk peningkatan kapasitas energi terbarukan selalu di bawah target. Dalam mengejar target bauran 23 persen energi terbarukan pada 2025 Indonesia belum menunjukkan kemajuan yang diharapkan. Hingga tahun 2023, bauran energi terbarukan baru 13 persen saja. Hal ini membuat sisa dua tahun ini menjadi tantangan untuk akselerasi energi terbarukan.
Kebutuhan biaya untuk membangun pembangkit energi terbarukan yang mencapai USD 152 miliar (setara 2.300 triliun rupiah) hingga 2040 menjadi sorotan. Angka ini dianggap sebagai angka yang realistis oleh Fabby, mengingat angka ini merupakan kebutuhan investasi meliputi kebutuhan pembangunan pembangkit energi terbarukan serta pembangunan jaringan transmisi dan distribusi.
“Angka USD 152 miliar sudah angka yang realistis saat ini. Kita juga harus memahami bahwa teknologi terus berkembang, bukan tidak mungkin ke depan kebutuhan investasi ini akan turun sesuai perkembangan teknologi,” jelas Fabby.
Fabby menyoroti niat pemerintah untuk melibatkan pihak swasta lebih banyak lagi. Untuk mengundang investasi swasta yang lebih besar diperlukan perbaikan regulasi antara lain Kebijakan Energi Nasional sesuai dengan target net zero emission sektor kelistrikan di tahun 2050, peninjauan ulang harga beli listrik dari pembangkit energi terbarukan, hingga peninjauan ulang tarif listrik yang berlaku saat ini.