Menjadikan Bali Model Pulau Energi Terbarukan

Jakarta, 29 Oktober 2025 – Bali telah lama menjadi ikon wisata. Di balik pesona alamnya,  Bali juga mengambil peran dalam aksi iklim dengan menjadi panggung saat Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan iklim dunia seperti COP13 tahun 2007 dan G20 tahun 2022. Pertemuan Tingkat Tinggi ini melahirkan fondasi komitmen iklim Indonesia seperti Bali Roadmap. Namun, akhir-akhir ini situasi di Bali menunjukkan paradoks iklim yang jelas. Pemadaman listrik (blackout) dan banjir bandang yang terjadi dalam waktu berdekatan (Mei – September 2025), menunjukkan rapuhnya sistem energi, tata ruang, alih lahan dan sistem drainase Bali. 

Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam sesi TED Talk bertajuk “Would Bali Achieve Net Zero Emission by 2045?” Pada Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025, mengatakan bahwa permintaan listrik di Bali dari tahun 2021-2024 sebesar 16,3% lebih tinggi 3-4 kali pertumbuhan permintaan listrik nasional. Untuk mengatasi kerawanan ini, Bali harus bertahap mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosilnya. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) membuat kajian pemetaan potensi teknis energi terbarukan di Bali, dan menemukan total potensi teknis energi terbarukan di Bali mencapai 22 GW, sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan energi Bali.

“Secara bertahap Bali harus bertransformasi. Dalam jangka pendek hingga tahun 2034, PLTS atap menjadi strategi low hanging fruits yang dapat dikejar hingga sebanyak 2,7 GW,” kata Alvin. 

Andrew Blakes, Professor of Engineering Australian National University, membagikan pengalaman Australia dalam 10 tahun belakangan yang hanya membangun pembangkit energi terbarukan utamanya energi surya dan angin. 

“Semua pembangkit listrik baru (di Australia Selatan) sejak tahun 2000 selama 10 tahun terakhir adalah tenaga surya dan angin. Semuanya. Tidak ada sumber energi fosil baru, tidak ada panas bumi, (bahkan) tidak ada hidro, tidak ada nuklir, hanya tenaga surya dan angin. Dan semua proyek ini didanai swasta. Investasi swasta, risiko swasta,” kata Andrew.

Andrew menambahkan pentingnya merancang model investasi dan pasar ketenagalistrikan agar pihak swasta dapat berkontribusi dengan optimal.

Rekomendasi komprehensif dari Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025 dapat diakses pada tautan IETD 2025: Tiga Rekomendasi Utama untuk Mewujudkan Transisi Energi yang Berdampak – IESR

Share on :