Jakarta, 21 Oktober 2024 – Indonesia masih mengalami sejumlah tantangan dalam melakukan transisi energi. Investasi dan transfer teknologi merupakan dua hal kunci yang belum terselesaikan dalam proses transisi energi Indonesia. Tercatat, Indonesia belum pernah melampaui target investasi energi terbarukan selama 2018 – 2023. Untuk mencapai target Paris Agreement 2015 yakni membatasi kenaikan temperatur global pada level 1,5 derajat, Indonesia perlu melakukan upaya-upaya lebih seperti menerbitkan kemitraan dengan negara lain.
China mengalami kemajuan signifikan dalam transisi energinya, sejak mengumumkan target untuk mencapai NZE sebelum 2060 pada tahun 2020, China mencatat rekor penambahan kapasitas energi terbarukan dari angin dan surya sebanyak 339 GW yang saat ini sedang dibangun. Tidak berhenti di situ, China juga membangun industri energi terbarukan, seperti panel surya yang saat ini kapasitas produksinya terbesar di dunia.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam forum “The Energy Transition Workshop: Potential Collaboration between Indonesia and China for Green Development and Clean Energy Cooperation” menyatakan bahwa terdapat potensi kerja sama yang terus tumbuh di antara Indonesia dan China. Isu transisi energi ini merupakan isu bersama yang dihadapi baik oleh China maupun Indonesia dalam upaya untuk mengatasi perubahan iklim di belahan bumi selatan (global south).
“Indonesia sedang berada pada tahap awal perjalanan transisi energi, dan Indonesia membutuhkan banyak dukungan untuk melakukannya, terutama dalam bidang transfer teknologi, pembiayaan, pembangunan industri energi terbarukan, serta dekarbonisasi industri. Kerja sama internasional dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini, dan China memiliki potensi untuk menjadi mitra strategis Indonesia,” kata Fabby.
Ardhitya Eduard Yeremia, Senior Assistant Professor Universitas Indonesia, mengatakan bahwa ketika berdiskusi tentang China, terdapat mispersepsi dalam benak publik Indonesia, yakni bahwa China adalah satu kesatuan unit. Padahal di balik satu wajah besar China terdapat berbagai pihak seperti pihak swasta, pemerintah nasional China, pemerintah provinsi China, serta pihak dan lembaga lain.
“Maka ketika berjejaring dan berelasi dengan pihak China, kita perlu secara cermat melihat dan mengidentifikasi aktor-aktor kunci dari aktivitas yang kita kerjakan,” katanya.
Arief Rosadi, Manajer Proyek Diplomasi Iklim dan Energi IESR, menjelaskan bahwa kebutuhan Indonesia untuk memenuhi target iklimnya, tidak dapat dipenuhi dengan usahanya sendiri mengingat selain isu perubahan iklim, Indonesia (dan juga China) saat ini sedang berstatus sebagai negara dengan ekonomi yang sedang berkembang (emerging economy).
“Terdapat potensi kerja sama strategis Indonesia-China yang dapat dieksplor di beberapa bidang yakni pengembangan infrastruktur energi terbarukan, dekarbonisasi industri, pengembangan industri komponen energi terbarukan (panel surya), dan pengembangan kerangka kerja tentang pembiayaan berkelanjutan untuk kerja sama bilateral,” kata Arief.
Su Wei, Deputy Director of Executive Board, China Center for International Economic Exchange (CCIEE), mengatakan bahwa pemerintah China telah membuat kebijakan dekarbonisasi yang menyangkut beberapa sektor antara lain ketenagalistrikan, industri, transportasi, dan sektor bangunan.
“China berkomitmen tinggi pada cita-cita netralitas karbon, dan untuk mencapainya China telah mengalokasikan investasi dalam jumlah besar baik untuk proyek maupun industri energi terbarukan. Hal ini juga merupakan kontribusi China pada transisi energi global,” katanya.
Menyoal investasi untuk transisi energi, Su Wei menyebut kedua negara perlu untuk meningkatkan kelayakan pendanaan proyek serta membangun keahlian keuangan berkelanjutan untuk mempercepat penerapan model pembiayaan berkelanjutan.