Agenda global untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan menjadi 11 TW pada tahun 2030, yang dideklarasikan pada COP28 di Dubai, harus selaras dengan target Perjanjian Paris 1,5°C. Meskipun kemajuan di sebagian besar sumber terbarukan berjalan lambat, energi surya menjadi satu-satunya yang berjalan sesuai rencana, dengan proyeksi penambahan kapasitas tahunan sebesar 1 TW antara tahun 2024 dan 2030. Pertumbuhan pesat ini membentuk kebijakan energi nasional di seluruh dunia, dengan target saat ini memperkirakan bahwa tenaga surya akan mencapai 43,6% dari kapasitas terbarukan global pada tahun 2030. Menjinakkan Energi
Peran energi surya dalam transisi energi di Indonesia semakin penting. Draf Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang akan datang mencerminkan perubahan ini, dengan menetapkan target yang ambisius. Draf Juli 2024 menguraikan kontribusi tenaga surya sebesar 1,6% terhadap pasokan energi primer pada tahun 2030 dan 32% pada tahun 2060, sebuah lompatan signifikan dari target RUEN 2017. Ini setara dengan minimal 7 GW tenaga surya terpasang pada tahun 2030 dan 309 GW pada tahun 2060. Namun, pembahasan terkini dalam draf RUKN Mei 2024 mengusulkan target yang lebih sederhana yaitu 14 GW pada tahun 2030 dan 134 GW pada tahun 2060, yang masih jauh dari Peta Jalan KESDM dan visi ambisius KEN(Indonesia Solar Energy Outlook 2025 – IESR).
Fleksibilitas: Kunci Integrasi VRE
Integrasi yang efektif ke dalam jaringan listrik sangat penting untuk memanfaatkan potensi penuh dari tenaga surya fotovoltaik dan energi angin. Tidak seperti sumber energi tradisional, Energi Terbarukan Variabel (VRE)—seperti tenaga surya dan angin—menghasilkan variabilitas pasokan, yang bergantung pada kondisi cuaca. Untuk mengelola variabilitas ini, sistem tenaga listrik harus menjadi lebih fleksibel di semua tahap, dari pembangkitan hingga konsumsi.
Fleksibilitas sistem dapat ditingkatkan melalui pembangkitan yang dapat didistribusikan, peningkatan jaringan, penyimpanan energi, dan respons permintaan. Sistem yang fleksibel akan memaksimalkan penggunaan energi terbarukan yang aman dan terjangkau, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan meminimalkan tindakan mahal yang diperlukan untuk stabilitas sistem.
Jalur Fleksibilitas Jaringan Indonesia
International Energy Agency (IEA) menguraikan enam fase integrasi VRE, berdasarkan porsi VRE dalam jaringan dan tantangan yang muncul di setiap tahap (Integrating Solar and Wind – Analysis – IEA). Kerangka kerja ini memungkinkan negara-negara untuk menilai kesiapan mereka terhadap tingkat VRE yang lebih tinggi dan mengidentifikasi solusi untuk menjaga stabilitas jaringan.
Gambar 1. Evolusi Kebutuhan Fleksibilitas Indonesia dan Pendorongnya (Managing Seasonal and Interannual Variability of Renewables – Analysis – IEA)
Saat ini, fleksibilitas sistem kelistrikan Indonesia sebagian besar didorong oleh variasi permintaan listrik, mengingat rendahnya pangsa VRE di jaringan (Managing Seasonal and Interannual Variability of Renewables – Analysis – IEA). Namun, seiring meningkatnya penetrasi VRE dari waktu ke waktu menurut rancangan RUKN terbaru—kebutuhan fleksibilitas meningkat. Meskipun sistem saat ini menunjukkan musim yang rendah, hal ini akan berubah seiring dengan terus bertambahnya pangsa VRE.
Gambar 2. Proyeksi Sumber Fleksibilitas Peningkatan Indonesia
Pemodelan kami, berdasarkan draf RUKN, menggambarkan bagaimana pasokan fleksibilitas Indonesia akan berkembang. Negara ini akan semakin bergantung pada sumber fleksibilitas bersih konvensional, khususnya tenaga air. Tenaga air akan memainkan peran penting dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil seperti batubara dan gas sekaligus melengkapi sumber energi baru seperti amonia dan hidrogen, yang dapat beroperasi serupa dengan pembangkit listrik berbasis fosil tradisional. Selain itu, penyimpanan baterai akan sangat penting dalam memastikan fleksibilitas sepanjang tahun.
Untuk sistem kepulauan dan kuasi-pulau seperti Indonesia, menjaga keseimbangan pasokan-permintaan jangka pendek dan memastikan stabilitas frekuensi merupakan tantangan tersendiri karena terbatasnya sumber daya fleksibilitas. Menurut analisis inventarisasi IEA (Integrating Solar and Wind – Analysis – IEA), upaya untuk meningkatkan fleksibilitas sistem sedang dilakukan. Langkah-langkah utama meliputi:
- Meningkatkan pembangkit listrik konvensional untuk menyesuaikan output mereka lebih cepat.
- Menetapkan mekanisme kapasitas agar tetap beroperasi.
- Menetapkan standar teknis yang lebih ketat untuk pembangkit VRE.
- Memperluas program respons permintaan untuk mencakup pelanggan komersial dan perumahan.
- Memanfaatkan kemampuan teknologi yang bekerja cepat seperti sistem penyimpanan energi baterai (BESS). Selain itu, peningkatan prakiraan untuk pembangkitan VRE dan beban bersih merupakan prioritas untuk meminimalkan kebutuhan fleksibilitas tambahan akibat ketidakpastian VRE.
Tantangan terkait integrasi VRE tidak boleh dilihat sebagai hambatan untuk memperluas kapasitas, terutama bagi negara-negara seperti Indonesia yang berada dalam tahap awal adopsi VRE. Dampak VRE pada tingkat sistem yang relatif rendah pada tahap awal ini, dikombinasikan dengan ketersediaan langkah-langkah integrasi yang hemat biaya, menawarkan peluang untuk meningkatkan penyebaran energi terbarukan tanpa mengorbankan stabilitas sistem. Dengan menerapkan strategi integrasi inti bersamaan dengan perluasan VRE, Indonesia dapat mempercepat transisi energi bersihnya dan membangun sistem tenaga listrik yang lebih tangguh dan berkelanjutan.