JAKARTA – Kedatangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar menggantikan Sudirman Said di sambut baik segenap keluarga besar Kementerian ESDM. Di hari pertamanya kerja, Arcandra langsung menggelar rapat pimpinan dan di hadiri segenap jajaran pejabat eselon I di lingkungan Kementerian ESDM.
Hadir dalam rapat pimpinan diantaranya, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Teguh Pamudji, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmadja Puja, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Ridha Mulyana dan Direktur Jenderal Mineral dan Barubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono. Rapat pimpinan bertujuan untuk mendalami tugas pokok dari setiap sub direktorat serta membahas program-program utama yang di jalankan di Kementerian ESDM.
“Terdapat 30 program strategis yang di bahas dari hulu sampai hilir. Dan yang paling atas berkaitan dengan revisi rancangan undang-undang migas. Tapi belum ada arahan secara spesifik masih umum sekali,” ujar Wiratmadja.
Menurut Wirat revisi undang-undang migas merupakan prioritas strategis yang harus segera disahkan tahun ini bersama DPR. Ia beralasan pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas sebagai kunci keberhasilan pemerintah menggairahkan kembali industri migas di tengah kelesuan harga minyak dunia. “Sebab itu kita ingin tahun ini sudah selesai,” ujar dia.
Dalam serah terima jabatan yang di selenggarakan Rabu malam (27/7), Arcandra juga menegaskan bahwa revisi UU Migas jadi prioritas utama. Ia beranggapan revisi UU Migas disesuaikan dengan dinamika industri migas global saat ini.
UU migas yang baru, kata Arcandra, harus mampu menjawab masalah migas saat ini. Pasalnya saat ini ketersediaan migas tidak lagi berada dalam kondisi geologi yang mudah dijangkau. Namun saat ini mencari energi yang bersumber dari migas semakin sulit. Eranya bergeser ke lapangan marjinal, lepas pantai termasuk laut dalam, tight dan shale oil dan gas serta enhanced oil recovery.
“Kesulitan diperparah dengan minimnya infrastruktur. Padahal produksi migas terus menurun dan rasio pengembalian cadangan yang sangat rendah,” ujarnya.
Menurut dia terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, membuat proses bisnis yang lebih efisien, transparan dan terukur. Kedua, sumber daya manusia yang kompeten yang ditunjang dengan skill, pengetahuan dan pengalaman. Ketiga, memanfaatkan teknologi yang tepat guna dan tepat sasaran.
Ia juga akan menghapus beberapa peraturan yang tidak sejalan dengan upaya membangun kedaulatan energi. Disamping itu pihaknya juga akan menerapkan regulator atau Kementerian ESDM sebagai mitra dari pelaku bisnis sehingga regulator bukan dianggap sebagai sumber masalah dari sebuah proses bisnis.
Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyarankan supaya Arcandra tidak kehilangan momentum melanjutkan reformasi tata kelola sektor energi dan akselerasi pembangunan infrastruktur energi.
Menurut Fabby, terdapat tiga aspek yang perlu mendapatkan perhatian di sektor ESDM, yaitu reformasi institusi dan kelembagaan sektor migas dan minerba, percepatan penyediaan akses energi, dan inovasi kebijakan dan teknologi. Reformasi sektor migas dan minerba, meliputi penyusunan revisi UU Migas menggantikan UU No. 22/2001 yang dibatalkan tiga kali oleh Mahkamah Konstitusi.
UU Migas yang saat ini masih berlaku, kata Fabby, tidak efektif sebagai payung hukum regulasi sektor migas, yang semakin kompleks dan beresiko. “Tidak adanya perangkat hukum dan peraturan yang pasti telah terbukti menyurutkan minat investasi di sektor hulu migas yang semakin turun dalam 10 tahun terakhir ini,” kata dia.
Selain itu, lanjutnya, keputusan investasi migas dilakukan secara terukur, proses yang transparan, berdasarkan aturan main dan regulasi yang jelas. Preseden kasus perubahan rencana pengembangan Lapangan Abadi di Blok Masela menjadi contoh adanya ketidak pastian proses keputusan investasi sektor migas dan ketidak jelasan regulasi.
“Berbagai faktor ini membuka politisasi yang menyebabkan keputusan pengembangan lapangan Abadi dilakukan melalui proses politik yang tidak transparan dan prudent serta menyampingkan perhitungan teknis-ekonomis,” kata dia.
Sumber: ekbis.sindonews.com.