Reformasi kebijakan di sektor ketenagalistrikan menjadi kunci dalam proses tranformasi energi
Gelombang tranformasi energi tengah melanda dunia. Sistem ketenagalistrikan kini bergerak menuju sistem yang lebih bersih, terdesentralisasi, digital dan memberikan kesempatan pada banyak pihak untuk menjadi produsen energi, atau dikenal dengan istilah 4D: Dekarbonisasi, Desentralisasi, Digitalisasi dan Demokratisasi.
“Indonesia juga mempunyai kesempatan untuk bergabung dalam gelombang transformasi ini. Namun diperlukan upaya yang serius untuk menyiapkan proses tranformasi tersebut. Reformasi kebijakan dan perbaikan sistem ketenagalistrikan menjadi kunci.Termasuk reformasi dalam pengembangan model bisnis pembangkit dan investasi sektor ketenagalistrikan, yang tidak hanya melibatkan pemerintah, namun juga pihak swasta,” ujar Prof. Kuntoro Mangkusubroto dalam sambutannya pada acara peluncuran Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan pembukaan Indonesia Energy Transition Dialogue Forum (IETDF) yang berlangsung di Jakarta, 15 November 2018.
Indonesia harus mempersiapkan diri dari sekarang, tambahnya lagi, jika tidak, maka dampaknya akan sangat luas, terutama pada infrastruktur ketenagalistrikan yang selama ini bersifat sentralistis dan monopolistik.
Dengan latar belakang tersebut, kemudian lahir inisiatif Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) sebagai sebuah wadah yang dikembangkan untuk berbagi dan bertukar gagasan yang obyektif dan inovatif untuk mendorong transformasi di sektor ketenagalistrikan.
“Diskusi dan analisa yang dikembangkan dalam ICEF berdasarkan fakta dan kajian yang ilmiah sehingga dapat memberi masukan atau rekomendasi yang tajam bagi pemerintah dalam menyiapkan kebijakan yang mendorong pengembangan energi terbarukan. Dengan demikian target Kebijakan Energi Nasional (KEN) serta Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dapat tercapai,” jelas Kuntoro yang didapuk sebagai dewan penasehat ICEF.
Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menambahkan, saat ini sistem energi terbarukan telah menjadi pilihan utama bagi penyediaan tenaga listrik di banyak negara. Dalam lima tahun terakhir investasi pembangkit energi terbarukan semakin kompetitif dan bersaing dengan harga pembangkit listrik dari energi fosil.
“Daya disrupsi dari teknologi energi terbarukan, seperti solar PV dan turbin angin akan semakin sulit dibendung. Harga teknologi energi terbarukan terus menurun dengan tingkat efisiensi yang semakin meningkat. Sepanjang periode 2009-2015 saja harga solar PV telah mengalami penurunan hingga 80%,” ujar Fabby.
Badan energi terbarukan internasional atau IRENA (International Renewable Energy Agency bahkan memperkirakan harga solar PV akan mengalami penurunan sebesar 60% hingga tahun 2025 mendatang. Sedangkan harga turbin angin rata-rata turun sebesar 38% sejak 2009.
Hal yang sama juga dikuatkan oleh Carbon Tracker yang baru saja mengeluarkan laporan, di mana pada 2021 harga pembangunan PLTS di Indonesia akan jauh lebih murah dibandingkan PLTU, dan pada 2027/2028 pembangunan PLTS baru akan lebih murah daripada mengoperasikan PLTU Batubara.
“Semakin terjangkaunya harga teknologi energi terbarukan akan membuat masyarakat beralih untuk memilih dan memproduksi sendiri listriknya, ketimbang membeli dari perusahaan penyedia listrik,” tandas Fabby.
Berdasarkan studi pasar listrik surya atap yang dilakukan GIZ- INFIS dan IESR dia menjelaskan tentang potensi listrik surya di Indonesia. Studi ini mengindikasikan adanya penurunan harga sistem solar PV hingga 30-40% dan memberikan manfaat secara finansial sehingga dapat memicu sedikitnya 4 juta rumah tangga di Pulau Jawa yang dikategorikan sebagai early follower – untuk memasang listrik surya atap (Solar PV), yang setara dengan kapasitas 12-16 GWp. Diperkiraan potensi surya atap di Indonesia mencapai 15 GWp hingga 2030.
“Dari sinilah dimulai fenomena “death spiral of utility” yang sudah kita lihat awal gejalanya di Australia dan AS. Selain itu ancaman terjadinya “stranded asset” bagi pembangkit thermal akibat tidak beroperasinya secara optimal padahal masih berada pada usia produktif. Walaupun sejauh ini tren tersebut masih terjadi di luar Indonesia, tapi negara tidaklah berarti tren tersebut tidak datang ke Indonesia dalam waktu dekat,” tandasnya.
Energi Berkeadilan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan yang berkesempatan hadir dalam acara peluncuran ini menyatakan, pemerintah sangat mendukung untuk pengembangan energi terbarukan yang lebih bersih, terutama untuk menjangkau penduduk yang berada di bagian terdepan, terluar, terujung Indonesia.
“Yang terpenting pengembangan energi ini sesuai azas berkeadilan untuk semua. Jadi tidak hanya biaya saja yang dipikirkan tetapi juga pertimbangan aspek sosial juga diperhatikan,” kata Jonan.
Menurut data Kementerian ESDM, hingga saat ini ada sekiitar 2% dari penduduk Indonesia atau sekitar 5 juta penduduk yang belum belum mendapatkan listrik.
Jonan juga menambahka untuk mendorong pengembangan energi terbarukan, pemerintah kini telah menyiapkan sejumlah kebijakan dan menerbitkan beberapa aturan terkait dengan
Listrik Surya Atap, pengembangan pembangkit listrik energi panas bumi (geothermal) tenaga bayu (tenaga angin), dan biomassa. Pemerintah juga sudah meminta PLN mengkonversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) 1800MW menggunakan bahan bakar minyak sawit mentah.
Indonesia Energy Transition Dialogue Forum (IETDF) 2018 yang mengusung tema “Pengalaman Terbaik dalam Melakukan Transisi Energi” juga menghadirkan sejumlah pembicara utama seperti Moazzam Malik, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Rasmus A.Kristensen, Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Timor Leste dan Papua Nugini. Acara ini juga menghadirkan sejumlah pakar energi dari China, Jerman dan Australia. Direncanakan IETDF akan menjadi agenda tahunan yang diselenggarakan oleh IESR dan ICEF untuk berbagi pengetahuan, pengalaman dan kajian terkait denga kebijakan, teknologi, dan pengembangan sistem transformasi energi.
Bahan presentasi IETDF 2018 dapat diunduh di: http://bit.ly/IETDF18Materi