Jakarta, 10 Juli 2025 – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian terus mendorong sektor industri untuk bertransformasi menjadi lebih ramah lingkungan. Salah satu langkah konkretnya adalah dengan memberlakukan kebijakan pengurangan emisi industri secara bertahap, sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Menteri Perindustrian No. 2 Tahun 2025. Hal ini dikatakan oleh Istifari Azizah Pengendali Dampak Lingkungan Ahli Pertama di Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian, dalam acara Diskusi Kebijakan Pengurangan Emisi dan Lokakarya Perhitungan Emisi Industri: Industri Pengolahan Gula dan Minyak Goreng yang diselenggarakan oleh IESR pada Kamis (10/7).
“Melalui surat edaran tersebut, pelaku industri diwajibkan untuk menyampaikan data emisi industri baik emisi polutan udara maupun emisi gas rumah kaca (GRK) melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas). Jadwal pelaporannya juga sudah diatur, misalnya data polutan udara Januari–Juni wajib dilaporkan paling lambat 10 Juli tahun bersangkutan. Kemudian, data polutan udara Juli–Desember disampaikan paling lambat 10 Januari tahun berikutnya, data emisi GRK dilaporkan paling lambat 10 April tahun berikutnya, dan untuk tahun 2023–2024, seluruh data emisi wajib disampaikan paling lambat 10 Juli 2025,” kata Istifari Azizah.
Istifari menambahkan, pelaporan ini bersifat wajib bagi industri menengah dan besar, namun untuk industri kecil pelaporan dilakukan secara sukarela.
Untuk mencapai target emisi yang lebih rendah, pemerintah merancang Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) yang mencakup tiga tahap utama yakni pengendalian awal dengan emisi polutan udara harus memenuhi Baku Mutu Lingkungan (BML) dan emisi GRK dibatasi dengan pendekatan single threshold, tahap integrasi pasar karbon dan standarisasi nasional.
“Untuk memastikan seluruh sektor memahami dan mampu melaksanakan kebijakan ini, pemerintah juga menyusun strategi sosialisasi yang intensif, termasuk yang diadakan oleh IESR saat ini. Kegiatan ini dilakukan melalui berbagai workshop yang menyasar subsektor industri prioritas, seperti semen, pupuk, logam, kimia, keramik dan kaca, makanan dan minuman, tekstil dan alat transportasi,” ujar Istifari Azizah.
Istifari menegaskan, kebijakan ini bukan sekadar regulasi administratif, tetapi bagian dari strategi besar dekarbonisasi sektor industri nasional. Strategi ini mencakup peta jalan dekarbonisasi sektor industri, Mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK) sektor industri, kebijakan pengurangan emisi, penerapan ekonomi sirkular, penangkapan dan pemanfaatan karbon serta
penerapan standar industri hijau. Kesembilan subsektor industri prioritas menjadi ujung tombak dalam transformasi ini demi menciptakan sektor industri Indonesia yang lebih hijau, efisien, dan berdaya saing global.
Selain diadakan dalam rangka membantu sosialisasi Surat Edaran Menteri Perindustrian No. 2 Tahun 2025, kegiatan Diskusi Kebijakan Pengurangan Emisi dan Lokakarya Perhitungan Emisi Industri: Industri Pengolahan Gula dan Minyak Goreng ini diadakan untuk juga meningkatkan kemampuan teknis industri dan asosiasi industri gula dan minyak goreng untuk melakukan audit emisi secara mandiri dan berdiskusi langsung dengan pakar mengenai upaya mitigasi pengurangan emisi yang dapat dilakukan oleh industri gula maupun minyak goreng. Diantaranya adalah dengan meningkatkan efisiensi peralatan, penggantian teknologi dan bahan bakar boiler menjadi lebih ramah lingkungan hingga pemanfaatan gas buang yang kaya akan karbon dioksida untuk proses karbonatasi di industri gula rafinasi.