Jakarta, 23 Juli 2025 – Perubahan iklim kini menjadi ancaman nyata bagi kehidupan Pemanasan global yang terus meningkat membuat bumi semakin rentan terhadap berbagai risiko, seperti bencana alam yang semakin sering terjadi, cuaca ekstrem, hingga munculnya wabah penyakit. Sayangnya, banyak dari persoalan ini belum tertangani secara menyeluruh dan berpotensi menimbulkan kekhawatiran bagi generasi yang akan datang.
Kondisi ini menuntut setiap daerah untuk bergerak aktif, termasuk kota-kota di Indonesia. Salah satunya adalah Kota Bogor, yang lewat Dinas Lingkungan Hidup (DLH), terus berupaya menumbuhkan perilaku ramah iklim di lingkungan perkotaan. Muhamad Haris, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Konservasi dan Perubahan Iklim, Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor menyatakan pihaknya telah menjalankan Program Kampung Iklim (ProKlim) untuk meningkatkan kapasitas masyarakat agar bisa beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim, seperti cuaca ekstrem dan bencana alam. Sejak tahun 2016, ProKlim telah dilaksanakan di beberapa kelurahan, seperti Kencana dan Cilendek Timur.
“Kami juga fokus pada pengelolaan sampah melalui prinsip Reduce, Reuse, Recycle (3R). Beberapa program yang dijalankan meliputi bank sampah dan TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle) untuk memilah dan mengolah sampah di tingkat masyarakat.
Kemudian, penggunaan aplikasi SIKASAI, yang memudahkan masyarakat dalam melaporkan dan memantau pengelolaan sampah. Ada juga kampanye pengurangan penggunaan plastik,” jelasnya dalam Peluncuran Jejak Karbon Individu Profil Demografis di Kawasan Urban, Suburban & Rural di Pulau Jawa pada Rabu (23/7).
Haris menegaskan, pendekatan ekonomi sirkular juga diterapkan di Kota Bogor, seperti yang dilakukan di TPS3R Mutiara Bogor Raya. Di sana, masyarakat tidak hanya mengelola sampah, tapi juga menjalankan usaha produktif seperti budidaya lele, ayam kampung, dan pertanian organik, semuanya memanfaatkan limbah yang telah diolah.
Sementara itu, Rusmala Dewi, Pengendali Dampak Lingkungan Ahli Muda, Provinsi DKI Jakarta mengatakan perubahan perilaku masyarakat butuh waktu seiring krisis iklim yang semakin terasa, tetapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Kuncinya adalah konsistensi dalam edukasi, kampanye publik, dan dukungan semua pihak.
“Untuk mengurangi emisi seiring krisis iklim yang terjadi, kami menerapkan layanan transportasi umum terintegrasi seperti Transjakarta dan JakLingko, yang bahkan digratiskan untuk kelompok masyarakat tertentu. Hal ini mendorong masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke moda transportasi publik yang lebih ramah lingkungan,” katanya.
Tidak hanya itu, dalam hal pengelolaan sampah, kata Rusmala, Jakarta telah meluncurkan program Jakarta Sadar Sampah, yang mendorong pengurangan dari sumber, praktik daur ulang, hingga penggunaan eco-enzyme. Inisiatif ini juga melibatkan ibu rumah tangga, sekolah, komunitas, dan dunia usaha untuk membentuk kebiasaan memilah dan mengolah sampah secara berkelanjutan. Program Sekolah Adiwiyata pun diperluas hingga ke sekolah di bawah Kementerian Agama, dengan fokus pada pendidikan lingkungan sejak usia dini. Hal ini sangat penting karena membentuk karakter ramah lingkungan paling efektif dimulai dari anak-anak.
“Namun, tantangan seperti resistensi orang tua terhadap kegiatan lingkungan anak dan keterbatasan SDM masih harus diatasi. Maka dari itu, sinergi antara sekolah, orang tua, dan komunitas menjadi kunci keberhasilan,” paparnya.
Fatmah, Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia menyatakan studi Jejak Karbon ini membuka wawasan baru karena memberikan gambaran bagaimana karakteristik wilayah mempengaruhi jejak karbon individu. Salah satu temuan penting adalah bahwa tingkat penghasilan seseorang berpengaruh paling kuat terhadap besarnya emisi yang dihasilkan. Artinya, semakin tinggi penghasilan, umumnya semakin besar konsumsi dan aktivitas yang memicu emisi karbon.
“Langkah awal untuk mendorong kesadaran publik adalah sosialisasi penggunaan fitur Jejakkarbonku.id yang bisa membantu individu menghitung jejak karbon pribadinya dan memberikan edukasi tentang gaya hidup yang lebih berkelanjutan. Beberapa gaya hidup rendah karbon yang bisa mulai diterapkan antara lain menggunakan transportasi umum atau kendaraan listrik, mengurangi konsumsi daging merah, yang produksinya menghasilkan emisi tinggi, memilih makanan lokal, bukan yang diimpor jauh-jauh, membeli peralatan elektronik hemat energi, serta menerapkan kebiasaan sederhana seperti membawa tas belanja sendiri, agar tidak terus-terusan menggunakan plastik sekali pakai,” ucapnya.
Haruki Agustina, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan studi tentang jejak karbon individu bukan sekadar akademik, tetapi alat ukur konkret yang membantu pemerintah dalam menyusun strategi mitigasi dari tingkat paling dasar: yakni individu, komunitas, hingga kota. Data yang dihasilkan bisa digunakan sebagai baseline (titik awal) untuk memperkirakan potensi emisi berdasarkan jumlah penduduk, seperti dalam isu pengelolaan sampah. Dengan baseline yang kuat, estimasi dan proyeksi emisi bisa lebih akurat dan tajam.
“Di kampus-kampus, riset tentang isu ini sudah banyak dilakukan. Sayangnya, hasil penelitian masih tersebar dan belum terkonsolidasi dengan baik. Padahal, penelitian akademik memiliki dasar ilmiah yang kuat dan bisa menjadi masukan strategis bagi pemerintah. Oleh karena itu, Kementerian membuka pintu lebar untuk menerima hasil riset, baik melalui surat resmi, audiensi, presentasi, hingga proposal kebijakan berbasis data. Bahkan, beberapa penelitian dari perguruan tinggi sudah berhasil masuk dalam proses penyusunan kebijakan, termasuk melalui platform e-library Kementerian. Ini bukti bahwa jalur akademik ke kebijakan itu nyata dan terbuka,” katanya.
Muhammad Rafli Nurmin Said, Konsultan Business Development dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti banyak perusahaan belum mengadopsi praktik bisnis hijau karena mereka menilai kesadaran konsumen masih rendah terhadap isu lingkungan.
Padahal, menurut studi, kesadaran Gen Z terhadap perubahan iklim sudah tinggi secara kognitif. Artinya mereka tahu dan paham soal isu ini. Tapi sayangnya, hanya sedikit yang benar-benar mengubah perilakunya. Hanya sekitar 0,47% yang konsisten menjalani gaya hidup rendah emisi, meski 90% menyatakan peduli terhadap perubahan iklim.
“Untuk menjembatani kesenjangan antara pengetahuan dan aksi, IESR membentuk inisiatif bernama Generasi Energi Bersih Indonesia. Program ini sudah menjangkau sekitar 25 kota dengan hampir 1.000 anggota muda yang bergerak dalam edukasi dan advokasi energi bersih, dan program offset karbon, seperti penanaman mangrove dan revitalisasi PLTS/PLTMH di desa
Tak hanya advokasi, perubahan juga perlu dilakukan dari sisi gaya konsumsi. Di negara lain, banyak konsumen mulai mempertimbangkan label ramah lingkungan seperti jejak karbon produk atau material berkelanjutan sebelum membeli barang. Di Indonesia, kesadaran ini masih rendah. Padahal, jika kesadaran meningkat dan perilaku berubah, dunia usaha akan terdorong untuk bertransformasi ke arah ekonomi hijau,” katanya.