Jakarta, 12 Desember 2024 – Transisi energi menjadi langkah penting yang harus diambil Indonesia untuk mengurangi emisi karbon. Bahkan, Indonesia memiliki target untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Namun, kenyataannya, hingga 2023, bauran energi terbarukan Indonesia baru mencapai 13,1% berdasarkan data Dewan Energi Nasional dan investasi di sektor ini terus menghadapi berbagai hambatan. Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa dalam Conference on Indonesia Foreign Policy (CIFP) 2024 pada Sabtu (30/11/2024).
“Kunci utama dari transisi energi yang berhasil adalah tersedianya pendanaan yang memadai. Namun, penggalangan dana dalam skala besar untuk energi terbarukan di Indonesia terhambat oleh tiga masalah mendasar yang saling terkait dengan aspek pembiayaan. Pertama, kebijakan yang tidak konsisten dan regulasi yang tumpang tindih menjadi penghalang utama bagi investor energi terbarukan. Misalnya kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Meski bertujuan mendorong pertumbuhan industri lokal, kebijakan ini menjadi tantangan karena infrastruktur pendukung seperti industri modul surya dan kaca khusus belum tersedia di dalam negeri,” ujar Fabby.
Menurut Fabby, tanpa dukungan rantai pasok yang memadai, sulit bagi Indonesia untuk memenuhi standar TKDN tinggi yang diperlukan untuk mendapatkan pendanaan murah dari lembaga keuangan internasional seperti ADB dan World Bank. Untuk itu, pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang lebih harmonis dan mendukung pertumbuhan industri lokal secara bertahap, sambil tetap membuka peluang investasi asing.
“Kedua, sektor kelistrikan di Indonesia sangat diatur (heavily regulated) dan bersifat monopolistik, dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai satu-satunya pembeli (off-taker). Hal ini menciptakan risiko besar bagi investor. Contohnya over kapasitas PLN sebesar 5 GW selama pandemi COVID-19, di mana PLN tetap harus membayar kontrak tahunan meskipun permintaan listrik menurun,” kata Fabby.
Fabby mengatakan, risiko seperti ini membuat investor enggan untuk berinvestasi dalam proyek energi terbarukan. Berkaca dari kondisi tersebut, Menurut Fabby, pemerintah perlu mengurangi risiko ini dengan memberikan jaminan bagi investor dan menciptakan pasar listrik yang lebih kompetitif.
“Ketiga, kemampuan pelaku lokal dalam menawarkan proyek energi terbarukan yang layak secara finansial (bankable) masih rendah. Misalnya saja bank sering meminta tingkat ekuitas minimum sebesar 30-35% dan agunan hingga 120% dari nilai pinjaman, yang sulit dipenuhi oleh pengembang lokal. Untuk itu, diperlukan akses pendanaan yang lebih fleksibel,” papar Fabby.
Di lain sisi, Fabby menggarisbawahi beralih dari energi fosil yang kotor ke energi terbarukan yang bersih bukan sekadar soal mengurangi emisi karbon, tetapi juga tentang menghentikan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat sekitar pembangkit berbahan bakar fosil. Misalnya saja, ketika PLTU batu bara digantikan oleh pembangkit energi terbarukan seperti surya, masyarakat di sekitarnya tidak lagi harus menjadi korban polusi. Selain itu, di sektor transportasi, pembakaran bahan bakar minyak kualitas rendah telah menyebabkan polusi udara yang juga menjadi “pembunuh diam-diam” bagi penduduk perkotaan.
“Transisi energi berkeadilan juga berarti memberi kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat untuk terlibat dan merasakan manfaatnya. Energi terbarukan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), memiliki syarat teknis yang lebih sederhana dibandingkan dengan pembangkit berbasis fosil. Yang berdampak terhadap peluang kerja dan pelatihan untuk tenaga lokal menjadi lebih besar, karena tidak lagi dibutuhkan kualifikasi teknis yang terlalu rumit. Ini dapat membuka jalan bagi banyak orang, termasuk di daerah terpencil, untuk ikut serta dan memperoleh manfaat ekonomi dari pengembangan energi bersih,” urai Fabby.
Tidak hanya itu, Fabby menyoroti pasokan listrik di wilayah 3T (tertinggal, terluar, terdepan), seringkali terbatas dan kualitasnya jauh di bawah standar perkotaan. Menggantikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan energi terbarukan akan meningkatkan keandalan listrik hingga 24 jam. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya mendapatkan pasokan listrik yang lebih baik, tetapi juga kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.
“Pada akhirnya, transisi energi bukan hanya soal mengganti sumber daya energi, tetapi juga memastikan bahwa setiap lapisan masyarakat bisa menikmati udara yang bersih, listrik yang andal, dan peluang ekonomi yang lebih luas. Inilah esensi dari transisi energi berkeadilan yang ingin kita wujudkan,” tegas Fabby.