Jakarta, 2 Maret 2022 – Indonesia memiliki target produksi kendaraan listrik yang cukup ambisius. Pemerintah Indonesia menargetkan 2 juta unit mobil listrik dan 3 juta unit motor listrik pada 2030. Kementerian Perindustrian, mematok target yang lebih ambisius yaitu 13 juta kendaraan roda dua dan 2 juta kendaraan roda empat pada tahun 2030. Namun, hingga September 2021 kendaraan listrik yang beroperasi baru sebanyak 654 unit.
Merespon kesenjangan antara target dan realisasi ini, Institute for Essential Services Reform, Thamrin School of Climate Change and Sustainability, dan Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) mengadakan diskusi untuk mengidentifikasi hambatan dan kesempatan dari pengembangan kendaraan listrik nasional.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menekankan pentingnya mengembangkan ekosistem pendukung kendaraan listrik. Apalagi jika dikaitkan dengan agenda untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi. Minimnya ekosistem pendukung kendaraan listrik seperti stasiun pengisian daya umum, menimbulkan keraguan konsumen untuk beralih menggunakan kendaraan listrik. Dari sisi industri, penting bagi Indonesia untuk mengembangkan industri baterainya sendiri untuk mengurangi harga kendaraan listrik.
“Selain untuk menekan biaya kendaraan listrik, juga untuk mengejar pemenuhan TKDN. Baterai yang merupakan salah satu komponen utama kendaraan listrik bisa memenuhi 30-40% TKDN,” jelas Fabby.
Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB, menjelaskan bahwa subsidi bahan bakar minyak Indonesia telah membebani APBN Indonesia. Data tahun 2019 menunjukkan konsumsi bahan bakar minyak Indonesia mencapai lebih dari 68 milyar Kilo Liter. Pemerintah sendiri mencoba beberapa cara seperti penggunaan CPO biodiesel mulai tahun 2015 untuk mengurangi ketergantungan impor BBM. Bukan hanya dari sisi fiskal, tingginya konsumsi bbm juga berpengaruh pada tingkat emisi yang dihasilkan oleh sektor transportasi.
“Misal di Jakarta, selama 10 tahun terakhir (2011 – 2020) kualitas udaranya berdasarkan kandungan PM10, PM2.5, O3, dan SOx sebagai parameter dominan telah melebihi standar baku mutu yang direkomendasikan,” jelas Ahmad Safrudin.
Dokumen LTS-LCCR yang menjadi kompas penurunan emisi di Indonesia belum diturunkan menjadi peraturan yang lebih ‘membumi’ khususnya sub-sektor transportasi sebagai salah satu penyumbang emisi besar di Indonesia.
“Kebijakan yang ada saat ini masih condong pada kendaraan ICE (internal combustion engine), atau kendaraan konvensional,” tutur Ahmad.
Ahmad menekankan bahwa upaya pengurangan emisi sektor transportasi harus terintegrasi dari hulu hingga hilir, meliputi energi bersih, teknologi bersih, manajemen industri dan transportasi, standar emisi, dan yang paling penting sisi law enforcement atau bagaimana pelaksanaan aturan-aturan yang telah dibuat berjalan dengan semestinya.
“Untuk mendorong pengembangan kendaraan listrik, yang harus dilakukan pemerintah adalah menetapkan standar emisi, kemudian menerapkan skema feebate/rebate; yaitu memberi insentif bagi industri yang memenuhi standar dan memberlakukan denda bagi produsen kendaraan yang tidak bisa memenuhi standar yang telah ditetapkan,” Ahmad menjelaskan.
Baik Ahmad dan Fabby juga menekankan pentingnya aspek tata kelola untuk pengolahan limbah baterai. Berkaca pada pengalaman Indonesia dalam menangani limbah aki, pengolahan limbah baterai perlu ketegasan pemerintah untuk membuat aturan daur ulang baterai bekas dan melaksanakannya serta memberikan tindakan tegas jika ada pelanggarnya.
Siaran ulang acara ini dapat diakses melalui tautan Mimpi Produksi Kendaraan Listrik Nasional – YouTube