Jakarta, 5 September 2024 – Progres harmonisasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) saat ini telah mencapai tahap akhir, menunggu persetujuan dari DPR untuk disahkan. Meski diskusi intensif telah berlangsung sejak 2023, termasuk melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan Komisi VII DPR RI, hingga kini belum ada kepastian kapan kebijakan ini akan diresmikan. Situasi ini menjadi perhatian penting, mengingat urgensi perubahan kebijakan energi yang lebih progresif dalam menghadapi tantangan masa depan.
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR), menyoroti bahwa RPP KEN sudah waktunya diperbarui, mengingat pemutakhiran terakhir dilakukan pada tahun 2014. Sesuai ketentuan, seharusnya kebijakan tersebut ditinjau setiap lima tahun sekali.
“Namun, revisi yang seharusnya memberikan arah kebijakan baru justru belum ada kepastian sampai sekarang. Perubahan situasi dari 2014 hingga saat ini sangat signifikan, terutama dalam konteks pengurangan emisi dan peningkatan penggunaan energi terbarukan,” ujar Deon pada diskusi ringan Instagram Live IESR pada Rabu (4/9/2024).
Lebih lanjut, Deon juga menyoroti bahwa adanya penurunan target bauran energi terbarukan pada 2025 dari sebelumnya 23 persen menjadi sekitar 17-19 persen di dalam RPP KEN tersebut. Deon menegaskan, penurunan target ini menandakan kelemahan komitmen untuk melakukan transisi energi dan mencerminkan dominasi kepentingan untuk mempertahankan energi fosil.
“Periode 2025 hingga 2030 seharusnya menjadi momentum penting untuk mempercepat transisi energi di Indonesia dengan mencapai target energi terbarukan lebih dari 40 persen dan mencapai puncak emisi sektor energi pada tahun 2030. Kami menyarankan agar evaluasi yang lebih ketat dilakukan dan kebijakan diperkuat untuk mencapai target 23 persen energi terbarukan pada 2025, bukan justru menurunkan ambisinya,” kata Deon.
Menurut Deon, peningkatan target energi terbarukan seharusnya tetap menjadi prioritas, bahkan pada 2030 harus lebih tinggi, agar Indonesia dapat mengikuti momentum global dalam transisi energi, seperti yang dibahas dalam COP28, di mana kapasitas energi terbarukan global ditargetkan untuk meningkat tiga kali lipat.
“Sektor swasta diharapkan memainkan peran lebih besar dalam mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Kajian IESR tentang Dekarbonisasi Sistem Energi memproyeksikan bahwa kebutuhan energi Indonesia akan mencapai 1.600 gigawatt pada tahun 2050. Seluruh kebutuhan listrik ini dapat dipenuhi dengan 100 persen energi terbarukan, dan Indonesia berpotensi mencapai nol emisi pada tahun tersebut. Ini memberikan peluang besar bagi negara untuk memanfaatkan potensi energi terbarukan yang melimpah,” tegas Deon.
Dengan rencana pelantikan Presiden terpilih Prabowo Subianto pada 22 Oktober 2024, kata Deon, muncul secercah harapan bahwa kebijakan energi nasional akan diarahkan dengan lebih jelas menuju transisi energi. Energi terbarukan, sebagai sumber energi yang aman dan ramah lingkungan, memiliki potensi besar di Indonesia dan teknologinya relatif mudah dikuasai.
“Langkah yang jelas dari pemerintah dalam memperkuat kebijakan dan target energi terbarukan akan menjadi kunci untuk mencapai tujuan Indonesia dalam mengurangi emisi karbon dan mendukung agenda keberlanjutan global,” papar Deon.