Mobilitas Berkelanjutan Kebutuhan Mutlak untuk Dekarbonisasi Sektor Transportasi

Jakarta, 14 Juli 2025 – mobilitas manusia menjadi salah satu konsekuensi atas roda perekonomian yang bergerak dan terus berkembang. Untuk memenuhi kebutuhan tiap-tiap individu, berbagai alternatif moda transportasi darat berkembang khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan daerah penyangganya. 

Sektor transportasi di Indonesia mengkonsumsi 40% BBM nasional di Indonesia. Transportasi jalan raya dan darat mendominasi konsumsi energi pada sektor transportasi. Transportasi jalan raya menyumbang 80% emisi sektor transportasi, yang terus naik setiap tahunnya sebesar 1,56% dan mencapai 202 juta ton CO2 pada tahun 2024.

Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer (CEO), Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam peluncuran laporan Indonesia Sustainable Mobility Outlook (ISMO) 2025, menyatakan bahwa dekarbonisasi transportasi jalan membutuhkan upaya terstruktur dan sistematis, yang memerlukan banyak inovasi dalam kebijakan, teknologi, dan model bisnis untuk melaksanakan smart electrification.

Laporan ini menyimpulkan bahwa dengan melakukan pendekatan Avoid – Shift – Improve (ASI) secara konsisten dan bersamaan, kita bisa menurunkan 76 persen emisi di 2060,” kata Fabby. Sebagai catatan, sekitar 24% emisi CO₂ diproyeksikan tetap sebagai emisi residual. Sebagian besar berasal dari sektor transportasi barang—khususnya kendaraan berat—yang belum menjadi fokus intervensi khusus dalam kajian ISMO 2025.

Ilham R. F. Surya, Analis Kebijakan Lingkungan IESR menyatakan situasi transportasi umum, studi kasus di 3 kota besar (Bandung, Jakarta, Yogyakarta) menunjukkan transportasi umum menghadapi berbagai tantangan dalam hal keandalan dan konsistensi pelayanan.

“Dengan kondisi angkutan umum yang belum sepenuhnya andal ini, membuat orang cenderung memilih sepeda motor untuk cara commutingnya. Tidak heran 70% masyarakat Indonesia menggunakan sepeda motor,” kata Ilham.

Dominasi sepeda motor turut berkontribusi signifikan terhadap pencemaran udara, terutama karena emisi polutan seperti NOx, CO, dan HC dari sepeda motor tercatat lebih tinggi dibandingkan moda transportasi lain—emisi NOx bahkan bisa mencapai 20 kali lipat lebih besar. Ilham menambahkan jika masyarakat terus – terusan mengandalkan kendaraan pribadi untuk bermobilitas, setidaknya terdapat tiga hal yang akan terjadi yaitu emisi GRK akan naik, kepemilikan kendaraan pribadi naik, serta naiknya konsumsi bahan bakar minyak.

Rahmi Puspita Sari, Analis Mobilitas Berkelanjutan IESR, menjelaskan perkembangan dekarbonisasi sektor transportasi Indonesia. Salah satunya adanya fasilitas transportasi umum yang memadai berhasil memindahkan jumlah perjalanan dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Namun, biaya untuk perpindahan ini masih cukup mahal sebab pemerintah mesti membangun infrastruktur utama dan pendukung dari fasilitas transportasi umum.

“Pada skala perpindahan pribadi dari penggunaan kendaraan konvensional (ICE) menjadi kendaraan listrik (EV), masyarakat masih merasa kerelaannya untuk membeli kendaraan listrik lebih rendah dibandingkan kesanggupannya. Sejumlah faktor masih mempengaruhi kerelaan yang rendah untuk membayar seperti brand yang kurang familiar, kehandalan teknologi, waktu pengisian daya baterai (charging) yang masih relatif panjang, dan ketersediaan insentif dari pemerintah,” jelas Rahmi.

Faris Adnan Padhilah, Koordinator Riset Manajemen Permintaan Energi, mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pilihan transportasi sangatlah personal seperti dijelaskan oleh Ilham. 

“Maka, terkait mobilitas berkelanjutan ini, tidak ada skema yang ideal yang dapat berlaku universal untuk semua orang. Yang ada adalah skema ideal untuk individu, sehingga solusinya harus sangat tailored bahkan sampai ke masing-masing orang,” kata Faris.

Share on :

Leave a comment