Jakarta, 1 Desember 2025 – “Percepatan dekarbonisasi sektor transportasi perlu menjadi salah satu prioritas pemerintah Indonesia untuk mencapai target nol emisi dalam beberapa dekade ke depan. Hal ini dikarenakan sektor transportasi merupakan salah satu dari tiga penyumbang emisi terbesar di Indonesia. Pada tahun 2024, sektor ini menghasilkan sekitar 202 juta ton CO₂, atau 25 persen dari total emisi nasional. Angka ini menunjukkan betapa besarnya tantangan yang harus dihadapi untuk menurunkan emisi dan mendukung pencapaian target iklim negara,” demikian pernyataan Reananda Hidayat Permono, Staff Program Transformasi Sistem nergi, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara WebinarLoop Series #1 bertajuk “Elektrifikasi Menuju Transportasi yang Berkelanjutan di Indonesia” pada Sabtu (29/11).
“Dari seluruh emisi tersebut, transportasi darat menyumbang sekitar 80 persen sehingga menjadikannya fokus utama dalam strategi dekarbonisasi transportasi. Hal ini wajar karena kendaraan pribadi, sepeda motor, dan angkutan barang darat mendominasi pergerakan orang dan barang di Indonesia. Ketergantungan tinggi ini menciptakan masalah berlapis, mulai dari polusi udara hingga kemacetan dan tingginya konsumsi BBM fosil,” jelas Reananda.
Masalah berikutnya, lanjut Reananda, tingginya ketergantungan pada impor bahan bakar minyak (BBM). Lebih dari 90 persen konsumsi BBM sektor transportasi berasal dari kendaraan jalan raya, membuat Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia. Pada tahun 2023, nilai impor bersih BBM mencapai USD 22 miliar, menekan neraca perdagangan dan menciptakan beban ekonomi yang besar bagi negara.
“Untuk itu, percepatan dekarbonisasi transportasi menjadi bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga isu ekonomi dan ketahanan energi. Pengurangan konsumsi BBM dapat secara langsung menurunkan tekanan impor, menghemat devisa, dan meningkatkan kemandirian energi nasional. Transisi menuju transportasi rendah karbon secara strategis dapat menjadi solusi multidimensi bagi Indonesia,” tegas Reananda.
Menurut Reananda, upaya dekarbonisasi perlu dilihat melalui kerangka avoid–shift–improve,. Pertama, avoid mendorong pengurangan kebutuhan perjalanan melalui tata ruang yang lebih baik. Kedua, shift mengalihkan masyarakat ke moda transportasi umum yang lebih efisien seperti kereta api dan bus. Ketiga, improve berfokus pada penggunaan teknologi yang lebih bersih seperti kendaraan listrik dan biofuel.
“Pemerintah selama beberapa tahun terakhir telah mendorong penggunaan bahan bakar nabati (BBN) seperti B40 dan pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai (BEV). Namun penetrasi kendaraan listrik masih menghadapi sejumlah tantangan, termasuk kekhawatiran masyarakat mengenai daya tahan baterai, jarak tempuh, dan infrastruktur pengisian daya yang belum merata. Data IESR menunjukkan bahwa jaringan pengisian publik masih terpusat di Jawa–Bali dan didominasi oleh pengisi daya (charger) berdaya rendah,” kata Reananda.
Di sisi lain, Reananda menyoroti terkait elektrifikasi transportasi massal menjadi langkah yang sangat menjanjikan. Kementerian Perhubungan menargetkan 90 persen transportasi umum perkotaan beralih ke kendaraan listrik pada tahun 2030. Transjakarta sendiri berencana mengganti seluruh armada busnya, lebih dari 10 ribu unit menjadi bus listrik pada tahun 2030. Jika target ini tercapai, dampaknya akan signifikan dalam menurunkan emisi dan meningkatkan kualitas udara di kota-kota besar.
“Dekarbonisasi transportasi juga membutuhkan kebijakan yang berpihak pada transportasi publik dan mobilitas berkelanjutan. Investasi pada sistem angkutan umum, perbaikan fasilitas pejalan kaki, penyediaan jalur sepeda, serta pengendalian penggunaan kendaraan pribadi harus berjalan paralel dengan insentif kendaraan listrik. Tanpa perubahan pola mobilitas masyarakat, elektrifikasi saja tidak akan cukup untuk menurunkan emisi secara drastis,” ujar Reananda.