Anak muda merupakan penentu nasib bumi ke depan. Segala bentuk penyelamatan alam seharusnya sudah terlaksana, semangat untuk mengubah gaya hidup menjadi ramah lingkungan sudah waktunya diterapkan.
Perubahan iklim bukan masalah lingkungan semata. Tetapi perubahan iklim juga merupakan masalah ekonomi, persoalan konsep pembangunan dan penanggulangan kebencanaan. Lebih jauh lagi perubahan iklim bisa jadi adalah mindset manusia, terutama kaum muda, di mana erat kaitannya dengan perilaku yang mencerminkan pelestarian alam di masa mendatang.
Dalam kesepakatan perubahan iklim sedunia (CoP-21 UNFCCC) di Paris 2015, yang menarik adalah pernyataan kesanggupan bagi negara-negara atau yang dikenal dengan Intended Nationally Determined Contribution (INDC), untuk berperan nyata melawan perubahan iklim.
Indonesia sendiri, dalam INDCnya menegaskan akan berusaha menekan emisi sebesar 29 persen pada 2030 dari skenario business as usual (BAU) dan tambahan 12 persen dengan bantuan internasional. Melalui INDC yang telah diajukannya pula, Naskah INDC Indonesia juga menekankan komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen dan tambahan 15 persen dengan dukungan internasional pada 2020.
Seperti diketahui, efek rumah kaca mengakibatkan suhu permukaan bumi meningkat, sehingga mengakibatkan terganggunya ekosistem, mengurangi kemampuan Bumi untuk menyerap karbondioksida di atmosfer.
Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga berakibat pada beberapa pulau kecil tenggelam di negara kepulauan, yang membawa dampak perubahan yang sangat besar.
Aktor Kunci Penyelesaian Masalah
Dalam acara “Dialog Antar Generasi: Tantangan dan Peluang bagi Kaum Muda” yang juga masuk dalam salah satu rangkaian acara Indonesian Climate Change Education Expo, 14-17 April 2016 di Jakarta Convention Center (JCC), Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengungkapkan betapa mengerikanya, apabila suhu Bumi naik 2 derajat.
“Bayangkan, di negara kepulauan kecil seperti Fiji, Tongga, Samoa, naiknya permukaan air 50 cm saja sudah membuat mereka kehilangan tanah air. Kalau di Indonesia, masih mending kita bisa berpindah-pindah meskipun sangat menyengsarakan juga,” tutur Fabby.
Sementara itu, kesepatakan CoP- 21 UNFCCC, sebanyak 195 negara peserta Konferensi tersebut, bersepakat mengurangi emisi dengan cepat untuk mencapai ambang batas kenaikan suhu Bumi yang disepakati yaitu di bawah 2 derajat Celcius dan diupayakan ditekan hingga 1,5 derajat Celcius.
Intinya melalui INDC, implikasi terhadap apa yang diusahakan Indonesia beserta negara-negara lain sangat luas, bukan cuma di Indonesia saja, tetapi semua orang di dunia ini juga akan merasakan dampaknya apabila dijalankan dan diusahakan dengan baik.
“Implikasi terhadap kenaikan suhu tidak lebih dari 2 derajat sangat luas. Artinya sebelum 2040 emisi gas rumah kaca di dunia sudah harus turun. Setelah 2050, kita harus mencapai karbon netral. Jadi misalnya kita mengeluarkan emisi CO2 10, kita harus mengurangkan 10 juga. Apabila ini tidak dilakukan maka target 2 derajat tidak akan terlaksana,” tegas Fabby.
Rentang waktu untuk menyelamatkan Bumi begitu cepat, setiap individu, terutama anak muda harus segera ambil bagian dalam pelestarian Bumi. Febby menegaskan, di masa sekarang justru anak muda menjadi aktor kunci untuk menyelesaikan masalah ini.
“Bukan cuma menerapkan mitigasi – upaya untuk mengurangi risiko bencana – dan adaptasi saja, tetapi merasuk juga ke dalam kehidupan Anda, misalnya jika Anda bekerja sebagai dosen, birokrat atapun penggusaha. Anda harus memikirkan bagaimana bisa hidup dengan upaya kegiatan atau pembangunan yang rendah karbon? Apapun yang kita lakukan nanti, harus memikiran dampak ke depan bagi kelestarian Bumi ini,” tegas Febby.
Dalam beberapa puluh tahun ke depan dari sekarang, ada masa generasi muda ini akan hidup di zaman yang rendah karbon dan sangat ramah lingkungan.
“Yang saya ingin pertegas, anak muda adalah pengambil keputusan baik buruknya masa depan Bumi ini. Pemerintah bisa saja buat janji atapun langkah apapun untuk pelestarian bumi, tetapi tetap yang mengambil keputusan dan penentu adalah Anda,” sambungnya. ima/R-1
Agen Perubahan
Banyak pelajaran dan pengalaman yang diperoleh generasi muda sekarang. Beragam hal buruk, terkait menurunnya kualitas iklim di Bumi ini juga sudah sama-sama mereka rasakan.
Pada zaman dahulu, kemajuan pengetahuan juga banyak yang salah kaprah dan berdampak buruk, dan lagi-lagi ini menjadi pembelajaran untuk generasi mendatang dan seterusnya.
“Dulu saya kuliah di Sipil ITB, dan diajarkan bangun jalan di pinggir pantai. Bahan yang paling murah dan bagus itu karang laut. Dulu insinyur gak ada yang tahu karang itu makhluk hidup,” jelas Sarwono Kusumaatmadja, pakar lingkungan dan mantan Menteri Lingkungan Hidup.
Saat bencana datang, kondisi laut saat itu hancur, ikan-ikan hilang. Barulah pengetahuan masuk, dan kita baru tersadar terkait pentingnya kelestarian alam di laut tersebut, bahkan Sarwono menuturkan kementerian PU baru menghentikan penggunaan karang sebagai bahan bangunan sejak 1994.
Di era modern ini, perubahan begitu cepat ditambah dengan penerapan teknologi yang kian canggih. Generasi modern pun dinilai mampu menjadi agen perubahan berkat arus informasi yang bisa diperoleh dengan mudah.
“Untuk saat ini, generasi muda harus menghasilkan inovasi dan pemikiran penting bagi kelestarian alam. Saya kira saat ini banyak yang salah kaprah, misal menggunakan perangkat gadget, apa dengan main gadget bisa pintar? Yang pinter itu yang menciptakan ponsel pintar itu. Kita kan penggunanya saja,” tegasnya.
Maka dari itu untuk generasi muda diwajibkan untuk terus berinovasi, menciptakan sesuatu yang penting untuk alam raya ini. Penerapan gaya hidup ramah lingkungan serta pengetahuan mengenai isu lingkungan pasca CoP- 21 UNFCCC juga harus segera dimiliki. Sarwono menegaskan, kaum muda akan menjadi agen perubahan bahkan juru penyelamat Bumi dari segala bentuk kerusakan.
Sementara itu gerakan anak muda dalam upaya penyelamatan Bumi pun belakangan sudah mulai terlihat, media sosial bisa menjadi modal penggerak yang responsif untuk melawan isu-isu lingkungan. Belakangan pergerakan tersebut sudah mulai terlihat, salah satunya bisa Anda temui di byebyeplasticbags.org di mana rata-rata pegiat gerakan ini adalah kawula muda. ima/R-1
Sumber: koran-jakarta.com.