Bus CNG atau BBG yang ditawarkan Hyundai (kanan) dan tabung BBG yang digunakan pada bus gandeng
JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai opsi pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan menggunakan compressed natural gas (CNG) dan liquid gas for vehicle(LGV) tidak realistis untuk diterapkan dalam jangka pendek.
Fabby menyebutkan, pemerintah perlu melihat kesiapan infrastruktur, ketersediaan alat converter, dan psikologi masyarakat dalam melaksanakan opsi tersebut. “Gas ini opsi yang harus diperjuangkan dalam dua hingga tiga tahun ke depan,” ujar Fabby kepada Kompas.com, Selasa (3/1/2012).
Ia menyebutkan, penggunaan bahan bakar gas tersebut tidak serta-merta bisa dilakukan pada tahun ini. Fabby menyebutkan, pemerintah harus melihat, pertama, bagaimana kesiapan infrastruktur seperti stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). “Saya melihat kurang dari lima pompa bensin yang siap memasok BBG (bahan bakar gas),” tuturnya.
Ia menilai, jaringan SPBG harus memadai tidak hanya di kota besar seperti Jakarta, mengingat kendaraan bermotor pada hari kerja banyak berasal dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Jadi, kata dia, SPBG harus ada di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
“Untuk gas, berarti perlu ada modifikasi tangki (mobil),” tambahnya. Ini tidak mudah dan bukan hal yang murah. Ia menghitung, masyarakat perlu mengeluarkan biaya Rp 7-Rp 10 juta per mobil untuk mengganti tangki dan membeli alat converter demi gas. “Pertanyaannya, siapa yang harus membayar ini,” tegas Fabby. Memang masyarakat sekali saja mengeluarkan dana, tetapi tetap biaya tersebut terbilang besar.
Hal ketiga, terang dia, pemerintah perlu melihat efek psikologi. Terhadap hal ini, ia mencontohkan, bagaimana konversi minyak tanah ke tabung gas yang memunculkan beberapa kecelakaan akibat ledakan di sejumlah rumah warga. “Ini kan memengaruhi persepsi publik (akan gas),” tanggapnya.
Dengan begitu, Fabby pun bertanya sudah siapkan pemerintah memastikan keamanan bahan bakar gas ini. “Seperti halnya telepon atau komputer yang ber-wifi, kalau mau keluar ke pasar harus punya sertifikat. Nah (begitu pula), kalau tabung BBG harus ada sertifikat keamanannya. Siapa yang mau menyertifikasi itu,” katanya.
Sebagai sebuah opsi, terang dia, penggunaan CNG dan LGV ini baik. Ini juga telah berlangsung di kota-kota besar seperti Bangkok, di mana polusi dan beban subsidi BBM bisa dikurangi dengan penggunaan gas ini. Akan tetapi, kata Fabby, kebijakan ini tidak serta-merta bisa langsung diterapkan mulai April mendatang. “Itu tidak realistis,” ujarnya.
Seperti diberitakan, pemerintah sedang berupaya membatasi konsumsi BBM bersubsidi pada tahun ini. Pasalnya, tahun lalu kuota sebesar 40,49 juta kiloliter yang tercantum dalam APBN-Perubahan 2011 terlampaui. Pemerintah pun harus menambah volume sebesar 1,5 juta kiloliter. Otomatis anggaran subsidi pun melonjak hingga mencapai Rp 160 triliun pada tahun 2011. Opsi pembatasan yang sekarang sedang gencar dibahas pemerintah adalah penggunaan CNG untuk kendaraan umum dan LGV untuk kendaraan pribadi.
Sumber: Kompas.com.