Kupang adalah kota dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, di mana persentasenya di tahun 2015 mencapai lebih dari 10%. Pertumbuhan penduduk ini juga diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh sektor konstruksi, perdagangan, servis kendaraan, dan sektor komunikasi dan informasi.
Kenaikan aktivitas ekonomi ini juga mendorong peningkatan kenaikan emisi gas rumah kaca (GRK). Hal ini terlihat dengan meningkatnya kebutuhan energi untuk listrik, bahan bakar rumah tangga, pertumbuhan kendaraan, dan peningkatan timbunan sampah. Menilik pemenuhan energi di Kupang, listrik di Kupang bergantung pada pembangkit listrik tenaga diesel dan uap yang menggunakan bahan bakar fosil. Jumlah kendaraan di Kupang juga meningkat drastis hingga dua kali lipat dalam periode 2009 – 2011. Dua hal ini menyebabkan emisi GRK di Kupang perlu mendapatkan perhatian lebih dari para pemangku kepentingan.
Dalam workshop yang diadakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Climate and Development Knowledge Network (CDKN), dan Perkumpulan Pikul di Kupang pada tanggal 4 Maret 2017, paparan mengenai kebutuhan pendanaan untuk menghadapi perubahan iklim disampaikan dan didiskusikan dengan berbagai pemangku kepentingan. Dalam workshop ini hadir perwakilan pemerintah dari Bappeda Kota Kupang, Otoritas Jasa Keuangan, Bank NTT, WALHI Kupang, dan Geng Motor Imut (GMI).
Kota Kupang mengalami sejumlah ancaman akibat perubahan iklim, di antaranta kenaikan muka air laut, angin kencang, dan hujan tak menentu. Fenomena ini menyebabkan meningkatkanya kejadian bencana terkait cuaca di Kupang, misalnya banjir, puttng beliung, hingga gelombang tinggi. Studi pencakupan yang dilakukan oleh IESR, CDKN, dan Perkumpulan Pikul menemukan bahwa Kota Kupang belum memiliki agenda dan strategi pengurangan emisi GRK dan mitigasi perubahan iklim. Pemerintah Kota Kupang sendiri sudah memiliki inventarisasi emisi gas rumah kaca sektoral melalui database SIGN-SMART. Dokumen Rencana Anggaran Daerah Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiki Bencana juga sudah ditetapkan, tetapi belum diadopsi secara resmi dalam regulasi. Saat ini belum ada rencana pembangunan yang rendah karbon dan adaptif terhadap perubahan iklim. Kota Kupang juga masih membutuhkan peningkatan kapasitas perencanaan pembangunan yang memitigasi perubahan iklim dan mengurangi emisi GRK. Elemen pembiayaan juga terhitung penting, karena dari studi ini, terlihat bahwa Kota Kupang belum memiliki pembiayaan yang cukup.
Dalam diskusi yang berlangsung setelah paparan hasil studi, isu-isu perubahan iklim di Kota Kupang dibahas oleh peserta yang hadir. Menurut Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, koordinasi multistakeholder adalah faktor penting, di mana peran serta elemen pemerintah, lembaga sipil masyarakat, individu, dan perbankan mutlak ada untuk efektivitas program yang direncanakan dan dijalankan. Masukan dan saran yang muncul dalam diskusi tersebut adalah perlunya melibatkan masyarakat sipil dalam program mitigasi perubahan iklim, perencanaan yang lebih tepat sasaran, integrasi rencana pembangunan yang terstruktur sehingga dapat diturunkan pada satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) terkait, perlunya instrumen pendanaan yang reliable¸ dan pertimbangan untuk membatasi investasi agar tidak menimbulkan emisi GRK dalam jumlah lebih banyak.
Pembiayaan program mitigasi perubahan iklim dari dana-dana swasta dan luar negeri juga didiskusikan dengan perwakilan Bank NTT dan OJK. Saat ini pihak swasta, terutama perbankan belum mengucurkan dana yang cukup untuk agenda perubahan iklim. Pihak perbankan juga belum memiliki skema pembiayaan lewat kredit untuk program mitigasi perubahan iklim, padahal masyarakat sipil dan komunitas sudah bergerak untuk terlibat. Geng Motor Imut, misalnya, sudah mampu memproduksi 200 kompor biomassa per bulannya. Biogas digester juga sudah mulai dikembangkan, sejumlah 50 instalasi sudah dipasang di seluruh NTT. Ke depannya, kegiatan-kegiatan terkait pengurangan emisi GRK ini perlu ditingkatkan dan didukung baik dari segi regulasi, sosialisasi pada masyarakat, model bisnis, maupun pembiayaan. Dialog-dialog multipihak dalam rangka pengembangan institusi pembiayaan bersama, misalnya dalam bentuk trust fund, juga perlu dilakukan terus menerus sehingga institusi yang memiliki kekuatan hukum tetap dapat terbentuk.
Perwakilan dari Bappeda Kota Kupang menyatakan bahwa dalam RPJMD 2017 – 2022, elemen mitigasi perubahan akan dimasukkan, sehingga bisa diturunkan menjadi regulasi untuk SKPD terkait. Koordinasi dengan lembaga sipil masyarakat dan masyarakat umum juga merupakan langkah yang akan diambil guna mendorong efektifitas program yang direncanakan. Dalam pembahasan anggaran pemerintah, Fabby Tumiwa menggarisbawahi perlunya perencanaan yang lebih cerdas dan terarah, di mana pos pendanaan yang sudah ada dapat digunakan dengan penyesuaian. Jika ini dilakukan, komponen pembiayaan dari luar APBD dapat digunakan untuk pengembangan kegiatan mitigasi perubahan iklim lainnya.
Paparan studi dan diskusi ini ditutup dengan kesepakatan untuk lebih banyak mengadakan temu bersama guna mendorong sinergi multi pihak dalam program-program mitigasi perubahan iklim di Kota Kupang.
Hening Marlistya Citraningrum adalah Program Manager untuk Sustainable Energy Transition di IESR.
Featured image via Shutterstock.