Konferensi Perubahan Iklim atau COP 21 Paris akhirnya menyepakati perjanjian baru untuk penanganan perubahan iklim yaitu Paris Agreement sebagai keputusan bersama konferensi pada Sabtu malam (12/12/2015) waktu setempat atau pada Minggu pagi (12/12/2015) waktu Indonesia.
Sebanyak 195 dari 196 negara anggota UNFCCC menyepakati Paris Agreement tersebut sebagai protokol baru yang akan menggantikan Protokol Kyoto sebagai kesepakatan bersama untuk menangani perubahan iklim dengan berbagai aspeknya dan berkomitmen untuk melakukan pembangunan yang rendah emisi.
Berbagai pihak menyambut gembira dengan dihasilkannya Paris Agreement tersebut. Presiden dan CEO World Resources Institute (WRI) Andrew Steer mengatakan perjanjian tersebut menjadi titik balik penanganan krisis perubahan iklim dengan rencana berbagai aksi global untuk pengurangan emisi karbon, mendorong inovasi dan membuat dunia lebih aman untuk anak cucu kita.
“Paris Agreement memiliki kekuatan untuk mengirim sinyal yang jelas dan keras kepada pasar ekonomi yang tidak ada jalan untuk kembali dari transisi ke ekonomi zero karbon. Perjanjian tersebut akan membawa kebaikan bagi orang-orang, bagi perekonomian, dan baik untuk planet ini,” kata Steer dalam siaran pers yang diterima Mongabay.
Hasil COP 21 Paris bakal berdampak besar secara global karena didasarkan atas komitmen penanganan perubahan iklim lebih dari 185 negara. “Namun, pekerjaan kita masih jauh dari selesai. Selama bulan-bulan mendatang, kita akan bergabung untuk membangun fondasi yang dibuat dari COP 21 Paris. Pergeseran dari komitmen ke tindakan akan lebih sulit dan perlu tekad yang lebih. Tapi untuk saat ini setidaknya kita bisa mengambil napas karena mengetahui bahwa dunia akan menjadi lebih kuat dan lebih aman untuk anak-anak kita dan generasi mendatang,” katanya.
Sedangkan Jalal, Reader on Political Economy and Corporate Governance Thamrin School of Climate Change and Sustainability mengatakan Paris Agreement merupakan kesepakatan historis untuk menyelamatkan bumi dan umat manusia dari ancaman perubahan iklim.
“Setelah kegagalan di COP-19 Copenhagen 2009, banyak orang skeptis bahwa perundingan perubahan iklim secara multilateral tidak akan berhasil melahirkan kesepakatan yang mengikat secara global. Namun, Paris membuktikan bahwa skeptisisme itu bisa disangkal,” katanya.
Sementara Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Service Reform (IESR) yang hadir dalam COP 21 Paris mengatakan disepakatinya Paris Agreement hari ini menjadi bukti bahwa proses perundingan multilateral masih ada dan semangat kolektif bangsa-bangsa untuk memperjuangkan sesuatu yang bernilai (noble) bagi kemanusiaan.
“Paris ternyata membawa energi yang mampu mendobrak perbedaan kepentingan antara negara kaya dan negara miskin; antara negara maju dan negara yang ekonominya sedang tumbuh. Semangat kerjasama sedemikian kuatnya sejak sebelum Hari H, tetap terjaga sejak awal perundingan, dan terbukti dengan pencapaian kesepakatan itu,” katanya kepada Mongabay melalui surat elektronik.
Dia menjelaskan Paris agreement, pada intinya, merupakan kesepakatan yang bersifat seimbang dan mengakomodasi kepentingan berbagai pihak: negara-negara maju,Alliance of Small Island States (AOSIS), Least Developed Countries (LDCs), dan negara-negara yang bergabung dalam Like Minded Developing Countries (LMDCs).
“Dan tugas menyatukan kepentingan-kepentingan yang berbeda itulah yang dianggap maha-berat. Sehingga, ketika akhirnya tercapai kesepatakan yang bisa menjembatani beragam kepentingan itu, dunia menyaksikannya sebagai sebuah keajaiban,” tambahnya.
Komitmen Indonesia
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang hadir pada konferensi tersebut menyampaikan bahwa memang tidak mudah untuk menghasilkan kesepakatan agar dapat mengakomodasi perbedaan kepentingan antara negara maju dan negara berkembang, termasuk negara kepulauan kecil.
Dalam siaran pers Delegasi RI untuk COP 21 yang diterima Mongabay, Siti menambahkan bahwa alotnya untuk mencapai kesepakatan ini menyebabkan proses negoisasi berlangsung hingga Sabtu malam (12/12/2015).
Siti sangat mengapresiasi komitmen dari para negosiator Indonesia yang terus mengupayakan agar proses negosiasi ini dapat menghasilkan keputusan yang dapat melindungi kepentingan nasional dan rakyat Indonesia.
Siti menegaskan bahwa ada beberapa isu penting yang menjadi perhatian. Pertama, berkaitan dengan ambisi untuk penurunan suhu global, pemerintah harus mengambil posisi tegas dalam mengurangi dampak perubahan iklim dengan tetap memperhatikan pembangunan perekonomian nasional secara berkelanjutan sesuai dengan amanat UU Dasar 1945.
Komitmen Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nasional, lanjutnya, seperti isu kehutanan (REDD+) dan pelaksaan kesepakatan yang berdasarkan kesetaraan dengan tanggung jawab yang berbeda antara negara maju dan berkembang (equity and common but differentiated responsibilities) sudah terakomodasi pada Paris Agreement ini
Sementara itu, berkaitan dengan seberapa besar batas kenaikan suhu global yang harus disepakati, Siti mengatakan posisi Indonesia adalah mendorong agar kesepakatan Paris ini dapat menyepakati batas kenaikan suhu 2 derajat celcius dengan komitment untuk menuju batas kenaikan (moving toward) suhu 1,5 derajat celcius. Upaya ini harus didukung melalui penerapan berbagai upaya terbaik, penguatan tata kelola dan kerjasama, serta memastikan adanya enabling actions yang tepat.
Mengenai pendanaan, Siti Nurbaya mengatakan keberadaan sumber daya pendanaan yang berkelanjutan dan predictable juga menjadi perhatian dari delegasi berbagai negara. Ketersedian pendanaan merupakan salah satu enabling condition dari keberhasilan pelaksanaan upaya global dalam pengendalian perubahan iklim, khususnya yang dilakukan oleh negara-negara berkembang.
“Indonesia menyatakan bahwa negara maju shall provide financial resources dan other party may on voluntary basis provide resource. Indonesia mengusulkan finansial untuk perubahan iklim diluar dari ODA (official development assistance merupakan skema bantuan yang diperuntukkan bagi negara berkembang dari negara maju yang selam ini telah dilakukan). Disamping itu kelembagaan dan upaya untuk mendukung transparansi juga menjadi salah satu isu krusial yang akan disepakati dalam Konferensi ini,” katanya.
Rachmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim yang hadir bersama dengan Menteri LHK mengatakan bahwa pada konferensi ini, selama proses negosiasi, Indonesia telah memainkan peran sebagai poros antar berbagai kepentingan yang ada diantara para pihak yang berkepentingan terhadap kesepakatan-kesepakatan konferensi perubahan iklim ini.
Sumber: mongabay.co.id.