Beijing, 27 Maret 2023 – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyampaikan keberadaan Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra (Belt and Road Initiative/BRI) memberikan peluang bagi China untuk berperan dalam mendorong percepatan transisi energi di Indonesia. Hal ini diungkapkannya ketika menjadi narasumber di seminar on promoting green and low carbon transition in BRI participating countries and seminar on CCICED special policy study on green BRI pada Senin (27/3/2023).
“Indonesia harus meningkatkan ambisinya untuk membuat pengurangan emisi yang kompatibel dengan Persetujuan Paris. Di bawah rencana saat ini, net zero emission (NZE) sektor energi akan tercapai setelah tahun 2060, tetapi sektor listrik akan mencapai nol bersih pada tahun 2050. Untuk itu, diperlukan lebih banyak upaya untuk dekarbonisasi sektor transportasi dan industri,” jelas Fabby.
Dalam mendorong dekarbonisasi tersebut, kata Fabby, Indonesia membutuhkan investasi kumulatif sekitar USD 1,3 triliun yang tersebar di berbagai teknologi. Dengan kondisi tersebut, Fabby menjelaskan, China dapat berperan mendukung transisi energi di Indonesia melalui kerjasama teknologi, manufaktur dan investasi, mengingat, terdapat potensi pasar dalam peningkatan permintaan energi terbarukan di Indonesia.
“Tenaga surya akan berperan penting dalam transisi energi Indonesia. Berdasarkan RUPTL 2021-2030, PLN berencana untuk menambah 3,9 GW energi surya pada 2025. Untuk itu, investasi BRI pada tahun 2023 perlu difokuskan pada proyek-proyek yang layak secara finansial, seperti pembangkit listrik tenaga surya dan energi angin yang dapat diskalakan,” ujar Fabby Tumiwa.
Di lain sisi, keberadaan BRI bisa memungkinkan terjadinya investasi untuk industri komponen energi terbarukan. Hal ini bisa dilakukan dengan mempertimbangkan kompleksitas rantai pasokan. Fabby menegaskan, dorongan untuk transisi energi dibarengi dengan industrialisasi di Asia Tenggara, seperti penyimpanan energi (energy storage), kendaraan listrik dan panel surya.
“Saat ini Indonesia sudah mulai mengembangkan industri baterai dan kendaraan listrik (electric vehicle) karena kandungan nikelnya yang melimpah. Biaya produksi yang rendah dan ketersediaan sumber daya merupakan beberapa peluang untuk mengembangkan industri modul surya lokal di Indonesia,” terang Fabby.
Dalam kesempatan yang sama, Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR), memaparkan berbagai rencana dan proyeksi sistem tenaga diperkirakan dapat menghasilkan percepatan penyebaran energi terbarukan di Indonesia. Misalnya saja perencanaan energi sistem tenaga terbaru menetapkan sekitar 20,9 GW terbarukan yang akan dibangun pada tahun 2030. Jumlah ini akan meningkat setidaknya 5-6 GW jika Indonesia mempertimbangkan target JETP dari 34% bauran energi terbarukan pada tahun 2030.
“Untuk mencapai target kebijakan nasional pada tahun 2025, IEA memproyeksikan penambahan kapasitas energi surya sebesar 17,7 GW di atas yang direncanakan dalam RUPTL. Sementara itu, berdasarkan skenario IESR, kapasitas pembangkit listrik berbasis energi terbarukan harus digenjot menjadi 140 GW demi membatasi pemanasan global hingga 1,5°C,” jelas Deon.
Namun demikian, kata Deon, secara historis, kapasitas terpasang energi terbarukan hanya tumbuh berkisar 500 MW per tahun. Hal ini terjadi karena terdapat beberapa tantangan utama, di antaranya kelebihan kapasitas pada pembangkit listrik Jawa-Bali. Selain itu, dominasi kapasitas PLTU batubara dengan mekanisme take or pay, membuat tidak adanya ruang untuk integrasi energi terbarukan. Tidak hanya itu, tantangan lainnya adalah, terdapat proses pengadaan energi terbarukan dan persyaratan penggunaan konten lokal yang menempatkan risiko yang tidak perlu terhadap pengembangan energi terbarukan.