Satu pekan menjelang berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara-negara ekonomi 20 (G20) di Argentina, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan “Brown to Green Report 2018” yang berlangsung di Jakarta, Rabu (21/11) dan dibuka langsung oleh Prof. Ir. Rachmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim.
Brown to Green Report 2018 adalah laporan tahunan yang dikeluarkan Climate Transparency initiative, sebuah kemitraan internasional dari 14 organisasi dan para ahli di bidang perubahan iklim dan energi di negara-negara G20. Brown to Green Report berisi tentang penilaian kinerja negara-negara G20 dalam melakukan transisi menuju ekonomi rendah karbon dalam mencapai target Kepakatan Paris dan menjaga temperatur bumi tidak lebih dari 2°C dan diusahakan hingga 1,5°C.
Dengan menggunakan 80 indikator, Brown to Green Report 2018 menyajikan data, analisis serta fakta terlengkap mengenai perkembangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dekarbonisasi, kebijakan perubahan iklim serta pembiayaan untuk aksi perubahan iklim. Laporan 2018 ini juga menambahkan kajian mengenai kerentanan terhadap perubahan iklim dan transisi yang adil.
Laporan tahun 2018 ini menjelaskan, hampir sebagian besar negara-negara G20 menunjukan penurunan kinerja dalam mencapai target Kesepakatan Paris. Tingkat emisi tahun ini mengalami kenaikan karena semakin besarnya penggunaan bahan bakar fosil terutama di sektor ketenagalistrikan dan transportasi. Padahal sejak tahun 2014 hingga 2016, emisi di negara negara G20 telah mengalami penurunan meskipun terjadi sangat lambat.
“Negara-negara G20 mempunyai peran yang sangat penting untuk memimpin dunia dalam mencapai target Kesepakatan Paris. Mereka adalah kelompok negara yang mengusai 85% dari ekonomi global, dan pada saat yang sama juga menjadi penyumbang 82% dari total emisi global.” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam sambutan pembukaanya.
Meski mengalami penurunan, menurut Fabby, ada sejumlah perkembangan yang perlu menjadi perhatian. Diantaranya adalah penerapan kebijakan rendah karbon untuk sektor bangunan, transportasi, dan industri. Beberapa negara juga telah mempunyai kebijakan mengenai puncak emisi, target pengembangan energi terbarukan serta rencana untuk keluar dari ketergantungan pada batu bara
Terkait mengenai kinerja Indonesia, Fabby menjelaskan bahwa emisi gas rumah kaca cenderung mengalami peningkatan yang disumbang dari sektor ketenagalistrikan, industri dan transportasi. Kontribusi nasional Indonesia sebesar 29% juga dinilai belum cukup memadai untuk mencapai target 1,5°C, bahkan cenderung mengarah pada peningkatan suhu yang lebih hanggat antara 3-4°C.
“Salah satu aspek yang membuat Indonesia tertinggal dari negara G20 lainnya karena belum adanya target kapan Indonesia akan mengalami puncak emisi, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai target tersebut.” jelas Fabby.
Kinerja Indonesia dinilai menurun, karena semakin besarnya ketergantungan pada bahan bakar fosil, khususnya batu bara. Subsidi untuk batu bara semakin meningkat. Namun di sisi yang lain, subsidi atau dukungan pendanaan untuk pengembangan energi terbarukan belum menunjukan perkembangan yang signifikan.
Sedangkan emisi di sektor lahan dinilai mengalami sedikit perbaikan dengan menurunnya tingkat deforestasi hingga 60% di tahun 2017. Keberhasilan ini merupakan hasil dari kebijakan moratorium lahan gambut yang diterapkan pemerintah tahun 2016. Untuk meningkatkan kinerja di sektor lahan, Indonesia perlu menyiapkan kebijakan terkait dengan forestasi atau menggantikan kawasan hutan yang hilang.
Laporan Lengkap Brown to Green Report (English Version) dapat diunduh di sini
Ringkasan Laporan Brown to Green Report dan Profil Indonesia (English Version) dapat diunduh di sini
Profil Indonesia (Versi Bahasa Indonesia) dapat diunduh di sini