Jakarta, 29 April 2025 – Indonesia memiliki potensi energi terbarukan mencapai lebih dari 3.600 GW, namun baru sekitar 0,3% potensi energi terbarukan tersebut yang termanfaatkan. Dalam webinar “Percepatan Investasi Energi Terbarukan di Indonesia: Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi”, untuk peluncuran laporan kajian(white paper) Mempercepat Investasi Energi Terbarukan di Indonesia – Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Sistem Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa saat ini terdapat kesenjangan pemenuhan listrik dari energi terbarukan khususnya disektor industri.
“Permintaan listrik dari energi terbarukan semakin kuat dan meningkat terutama dari sektor industri, namun pemerintah belum dapat memenuhinya. Kita harus memikirkan agar akses pada listrik energi terbarukan semakin terbuka,” kata Deon.
Ollie Wilson, Head of RE100, Climate Group menjelaskan posisi Indonesia saat ini yang sedang dalam momen mengejar target Net Zero Emissions tahun 2060 dan target energi terbarukan pada tahun 2040.
“Target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah memiliki implikasi pada kebutuhan energi terbarukan. Kondisi saat ini menghadapi sejumlah tantangan mulai dari kendala jaringan hingga kekurangan modal. Untuk itulah pemanfaatan bersama jaringan transmisi menjadi sarana strategis untuk menjawab kebutuhan ini,” kata Ollie.
Mekanisme PBJT yang ditawarkan dalam laporan ini membuat PLN tetap memegang kendali atas pasar ketenagalistrikan, memperoleh pendapatan baru dan mencapai target bauran energi terbarukan nasional. Seiring berjalannya waktu, skema PBJT diharapkan dapat mengundang investasi.
Ollie juga menambahkan saat ini terdapat lebih dari 130 perusahaan anggota RE100 yang beroperasi di Indonesia. Perusahaan ini membutuhkan listrik sekitar 3 TWh setiap tahunnya, dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Perusahaan-perusahaan ini ingin berinvestasi dan tumbuh di Indonesia, namun mereka membutuhkan opsi yang jelas dan kredibel untuk mengakses listrik dari energi terbarukan.
Laura Thomas, Analis RE 100, menambahkan bahwa jika Indonesia dapat menyediakan pasokan energi terbarukan yang handal melalui mekanisme PBJT, Indonesia berpeluang mendapatkan penanaman modal asing (foreign direct investment), menciptakan pekerjaan hijau, serta memperkuat ketahanan energi. Semua hal ini merupakan elemen penting untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.
“Di sinilah mekanisme pendukung, seperti pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT), menjadi penting. Mekanisme ini memungkinkan distribusi dan pembagian energi terbarukan yang efisien di seluruh jaringan, sehingga memudahkan akses yang lebih luas ke listrik bersih,” kata Laura.
Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR mencatat terdapat beberapa tantangan pada sistem pasar energi Indonesia, sehingga membutuhkan solusi yang disesuaikan dengan kondisi yang ada.
“RUKN 2025–2060 dan RUPTL 2021–2030 menyebut PBJT sebagai strategi untuk memperbaiki investasi di jaringan transmisi dan distribusi. Namun masih perlu menentukan biaya sewa jaringan transmisi dan distribusi secara spesifik dan transparan,” jelas Alvin.
Malaysia dan Vietnam adalah negara di Asia Tenggara yang telah menerapkan mekanisme PBJT. Mutya Yustika, Analis Keuangan Energi, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menjelaskan bahwa PBJT akan membuat Indonesia kompetitif dengan negara-negara lain khususnya Asia Tenggara.
“Penerapan skema PBJT ini juga akan membantu menutup celah kebutuhan pendanaan infrastruktur kelistrikan yang diperkirakan mencapai USD 146 miliar,” kata Mutya.
Arthur Simatupang, Ketua Asosiasi Pengusaha Listrik Swasta Indonesia (APLSI) memandang bahwa skema PBJT yang diusulkan ini akan mendorong pertumbuhan (growth) bagi PLN, salah satunya dengan pembentukan anak perusahaan (sub-holding) khusus bagian transmisi dan distribusi.
“PBJT ini menggunakan infrastruktur jaringan existing, maka tidak akan membutuhkan modal (capex) yang terlalu tinggi. Selain itu, karena sudah ada proyeksi permintaan (demand) dari industri, akan lebih mudah mengundang pihak swasta untuk berpartisipasi,” kata Arthur.
Apit Pria Nugraha, Kepala Pusat Industri Hijau (PIH) Kementerian Perindustrian menyatakan hal senada bahwa sektor industri sangat membutuhkan akses pada energi bersih untuk menarik investor. Beberapa perusahaan bahkan mensyaratkan 100% energi bersih.
“Opsi energi bersih (clean energy) saat ini sangat terbatas, hanya tersedia solar panel dengan kuota terbatas dari PLN, sementara opsi lain seperti REC (renewable energy certificate, Sertifikat Energi Terbarukan) masih diperdebatkan dan IPP terhambat oleh regulasi power wheeling yang belum jelas. Skema PBJT adalah sebagai solusi paling tepat untuk memenuhi kebutuhan clean energy mix pada industri,” jelas Apit.
Sahid Junaidi, Sekretaris Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyambut baik terbitnya white paper ini.
“Rekomendasi dari white paper ini akan menjadi masukan konkret bagi kami salah satunya untuk proses RUU EBET yang saat ini masih berlangsung,” katanya.
Lucia Karina, Direktur Public Affairs, Communications, and Sustainability Coca Cola Euro Pacific Partners mengatakan bahwa melalui analisis white paper ini menunjukkan bahwa PBJT bukan hanya solusi teknis, tapi strategi transformasional untuk mendorong sistem energi nasional yang lebih kolaboratif, efisien, dan terbuka.
“PBJT dapat menjadi katalisator pembukaan akses jaringan listrik bagi sektor swasta yang selama ini relatif tertutup, sekaligus mengurangi hambatan geografis antara sumber energi terbarukan dan pusat permintaan industri,” katanya.
Karina juga menambahkan PBJT berpotensi memperluas mekanisme pembiayaan yang lebih inklusif tanpa membebani APBN atau PLN, serta membuka ruang kolaborasi baru antara pengembang, industri, dan pemerintah.
Menutup webinar, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyampaikan penting untuk memastikan bahwa kebijakan ini bisa mengakomodasi perubahan dari sistem energi yang terpusat menjadi lebih desentralisasi.
“Kami menilai kebijakan PBJT merupakan solusi saling menguntungkan (win win) bagi semua pihak, membuat PLN berfokus mengembangkan jaringan (grid), dan kita bisa mendapatkan investasi pengembangan infrastruktur energi terbarukan serta memanfaatkan potensi energi terbarukan, hingga mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai target Presiden Prabowo dan memenuhi target iklim kita,” katanya.