Pembangkit Listrik Nuklir Dinilai Ideal Beroperasi 2028

JAKARTA (IFT) – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menuturkan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) nasional idealnya tuntas dilakukan pada 2028. Oktaufik, Direktur Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi BPPT, menilai PLTN ideal beroperasi pada 2028 karena kebutuhan energi nasional saat itu sangat besar, sementara pengembangan energi baru terbarukan untuk pembangkit listrik berjalan lambat dan berpotensi menimbulkan krisis energi.

PLTN dinilai paling cepat dan andal untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik berdaya besar dibandingkan pembangkit energi baru terbarukan lainnya, seperti tenaga surya, panas bumi atau angin. Bila 2028 mulai beroperasi, pembangunan PLTN setidaknya harus dimulai pada 2020.

“Mulai beroperasi pada 2028 itu realistis, karena komitmen sudah ada dan energinya dibutuhkan. Di sisi lain memperhitungkan kondisi politik nasional dan masa konstruksi. Mulai dibangun diperkirakan setelah pemilu, ditambah persiapan pembangunan dan konstruksi selama 10 tahun,” tuturnya di Jakarta, Senin.

Dia mengatakan, PLTN yang dibangun pertama setidaknya berkapasitas 2 gigawatt (GW) dan ditambah pada tahun-tahun sekitar 1 GW per tahun. Pembangunan PLTN harus bertahap karena pertimbangan teknis.

Dia mengakui, belum mengetahui pasti biaya investasi untuk membangun PLTN karena teknologi terus berubah. Tapi, dia memperkirakan teknologi yang akan dipakai menggunakan generasi keempat termasuk jenis reaktor bertemperatur tinggi yang sudah mulai digunakan di beberapa negara.

“Lokasi potensial pembangunan di Bangka atau Kalimantan, di luar ring of fire (pegunungan berapi). Tapi tim penentu ada di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), bukan kami,” ungkapnya.

Dia mengatakan, hingga 2030 diperlukan tambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 133 GW-199 GW berdasarkan rencana Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pembangkit bakar batu bara mendominasi dengan porsi 65%-75%, sementara pembangkit bersumber energi baru terbarukan sekitar 20%. Dengan kebutuhan itu, total investasi yang diperlukan mencapai US$ 189-US$ 274 miliar.

Marwansyah Lobo Balia, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, mengatakan tidak menutup kemungkinan pembangunan PLTN. Namun, pembangunan PLTN menjadi pilihan terakhir dari pengembangan energi baru terbarukan. “Pembangunan PLTN merupakan kebijakan politis, bukan hanya di Indonesia tapi negara lain. Yang pasti, kalau pun dibangun, tidak akan dilakukan dalam waktu dekat,” ujarnya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menilai rencana pembangunan PLTN harus benar-benar matang dan memastikan besar investasi, kapasitas, teknologi, dan jaminan keamanan. Dia menilai beberapa aspek tersebut masih lemah, apalagi belum ada persetujuan masyarakat.

Meksi Batan sudah mengembangkan nuklir untuk keperluan medis, hal itu berbeda dengan PLTN. Reaktor nuklir memiliki risiko lebih besar, termasuk kebocoran.

Batan memperkirakan PLTN berkapasitas 2 ribu megawatt (MW) di Bangka-Belitung paling cepat beroperasi pada 2021-2022. Taswanda Taryo, Wakil Ketua Pengembangan Hasil Riset Batan, mengatakan perkiraan itu dengan asumsi uji kelayakan dimulai tahun ini hingga 2013. Lalu penentuan lokasi pembangunan dan jenis pembangkit. Setelah itu baru dilakukan masa konstruksi selama lima tahun.

Dia mengatakan, harga jual listrik dari PLTN sekitar US$ 3,8 sen-US$ 4,2 sen per kilowatt electric (kwe). Harga ini hanya bisa bersaing dengan harga batu bara. Dibutuhkan investasi sekitar US$ 2 miliar-US$ 2,7 miliar per 1.000 MW. (*)

BY WILDA ASMARINI

Sumber: Indonesia Finance Today.

Share on :