Jakarta, Kompas – Pembangunan tak perlu jargon-jargon perubahan iklim karena jargon-jargon itu berbeda dengan bahasa pembangunan. Saat ini, kapasitas membangun belum dimaknai sesuai substansinya.
”Jargon lebih disukai ketimbang substansi. Pemerintah tidak siap untuk menerjemahkan jargon tersebut. Masih ada keterbatasan untuk memahami substansi dan menerjemahkannya ke aplikasi,” ujar Ketua Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, Selasa (18/9), di Jakarta.
Jargon pembangunan rendah karbon atau rendah emisi (karbon) secara substansi sama dengan jargon pembangunan berkelanjutan yang dikenalkan tahun 1992 pada Konferensi Pembangunan Berkelanjutan I di Rio de Janeiro, Brasil.
Jargon-jargon perubahan iklim itu, menurut Fitrian Adriansyah, kandidat doktor spesialisasi iklim dan keberlanjutan di Australian National University, harus bisa masuk ke birokrasi pembangunan yang sudah berjalan 50 tahun. ”Karena telanjur, bisa disatukan ke dalam rencana pembangunan jangka menengah nanti,” ungkapnya.
Jika tidak dimasukkan, lanjut Fitrian, akan sulit dilaksanakan karena tak sesuai dengan bahasa pembangunan yang selama ini digunakan. ”Pengukur keberhasilan kan sama, pada sektor sosial dan ekonomi,” ujar Fitrian.
Istilah penurunan emisi karbon, misalnya, dinilai tidak perlu dijadikan indikator pembangunan. Terkait emisi itu, Indonesia berjanji menurunkan emisi karbon 26 persen dengan usaha sendiri.
Menurut Fabby, hal lain, seperti jargon pertumbuhan hijau, saat ini belum dimaknai sesuai konteks pembangunan dan profil ekonomi Indonesia yang agraris. Indonesia terlalu meniru negara-negara Eropa yang industrinya maju.
”Anggaran subsidi bahan bakar fosil pun masih tinggi, hingga 25 persen anggaran negara. Ini jelas tidak sesuai dengan jargonnya,” ujarnya.
Kesiapan anggaran
Di Indonesia, selain pembangunan biasa, juga muncul program-program baru terkait perubahan iklim, misalnya program Penurunan Emisi Melalui Deforestasi dan Degradasi Lahan (REDD+).
Menurut Fitrian, kalau program pembangunan bersifat ”sementara” atau untuk tujuan tertentu saja, dananya tidak akan ada dalam anggaran negara. Pendanaannya tidak akan intens atau terputus.
Rencana pembangunan yang baru, lanjut Fabby, seharusnya diadaptasi dengan sistem anggaran baru. ”Jika daerah punya program rendah karbon, ada atau tidak insentifnya? Pranatanya tidak disiapkan untuk interpretasi green growth,” katanya.
Saat ini, untuk pembangunan hingga tahun 2025, pemerintah menerbitkan Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang masih bertumpu pada sumber daya alam. Di tengah jalan, muncul wacana ”Greening MP3EI”. (ISW)
Sumber: Kompas.com.