JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah tidak tegas dalam melakukan program penghematan energi nasional. Bahkan berbagai sektor yang mengalami pemborosan energi tidak pernah mendapat disinsentif.
Karena itu, program hemat energi yang dicanangkan pemerintah terkesan sekadar pepesan kosong. Karena itu pula, beban anggaran negara untuk subsidi energi makin membengkak.
Meski penghematan energi sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2012 tentang Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah tidak pernah membuat regulasi yang jelas dan tegas melalui peraturan turunan. Karena itu, pemborosan di sektor energi terus terjadi.
“Pemerintah selalu takut membuat peraturan turunan Undang-Undang APBN, baik peraturan presiden (perpres) maupun peraturan menteri (permen). Pemerintah tidak pernah menjelaskan bagaimana industri, rumah tangga, perkantoran, atau kendaraan pribadi harus melakukan penghematan energi,” kata anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha di Jakarta, Senin (7/5).
Pendapat hampir senada juga diutarakan pengamat kelistrikan dan energi Fabby Tumiwa dan anggota Komisi XI DPR Kemal Azis Stamboel dalam kesempatan terpisah. Satya mencontohkan, pada saat pemerintah berniat menaikkan harga BBM, program itu sebenarnya bisa dilakukan karena memang itu sudah diatur dalam UU tentang APBN 2012. Namun ketidaktegasan pemerintah menjadikan penghematan itu hanya sebatas wacana.
Satya menegaskan, dalam melakukan penghematan energi memang harus ada peraturan yang mengikat dan sanksi hukum yang jelas. Dengan demikian, regulasi itu lebih mudah diimplementasikan dibanding pemerintah hanya memberikan imbauan kepada masyarakat ataupun dunia usaha.
“Tugas pemerintah adalah membuat regulasi dan menjalankannya, bukan sekadar mengimbau. Kalau pemerintah sekadar mengimbau, negara tidak akan bisa berjalan,” ujarnya.
Sementara Fabby Tumiwa menilai, pemborosan energi di Indonesia terjadi karena harga energi murah, baik listrik maupun BBM. Misalnya, pemborosan pemakaian energi di sektor transportasi akibat buruknya regulasi angkutan massal.
Namun jika memang benar-benar serius menghemat anggaran energi di seluruh kementerian/lembaga, pemerintah harus membuat petunjuk teknis yang jelas. Menurut Fabby, kebijakan energi harus diimplementasikan secara nyata. “Jangan sampai kebijakan itu hanya menjadi konsep di atas kertas,” katanya.
Dia mengingatkan, Inpres Hemat Energi sendiri sudah tersedia, sehingga pemerintah tak perlu membuat kebijakan baru.
Fabby juga mempertanyakan sasaran yang dicapai dari instruksi penghematan yang disampaikan ke kementerian dan lembaga. Pemerintah seharusnya memiliki tolok ukur keberhasilan kementerian atau lembaga negara tersebut.
“Apakah ada penilaian dari UKP4 (Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) yang selama ini melakukan penilaian terhadap kinerja jajaran pemerintahan? Adakah sanksi terhadap petinggi kementerian atau lembaga negara yang tidak bisa menghemat energi, termasuk pemakaian listrik?,” tutur Fabby Tumiwa.
Pemborosan energi, menurut Febby, kebanyakan terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Di sinilah, peran pemerintah untuk memberikan aturan yang jelas mengenai penggunaan energi, yakni beban yang dibayarkan oleh pengguna energi yang pemakaiannya besar harus jauh lebih mahal dibandingkan dengan yang penggunaannya sedikit.
“Jadi harus ada perbedaan harga energi di masyarakat di ukur berdasarkan tingkat keekonomian, industri dan perkantoran. Begitu juga dengan pengguna kendaraan, dengan demikian penghematan energi akan berjalan dan masyarakat berpikir bagaimana untuk melakukan penghematan karena mahalnya harga energi,” ujarnya.
Menanggapi pembatasan jam kerja bagi pegawai negeri sipil (PNS) terkait larangan penggunaan listrik di atas pukul 18.00, anggota Komisi XI DPR Kemal Azis Stamboel meminta pemerintah jangan hanya berwacana membingungkan. Sebaliknya, dia mendesak pemerintah kembali menggalakkan reformasi birokrasi sehingga menjadi agenda nasional mewujudkan tata kelola pemerintahan yang makin sehat dan efisien.
“Jangan berhenti. Birokrasi harus makin sehat, efisien, dan dapat bekerja secara baik untuk mengeksekusi target-target pembangunan nasional, termasuk dalam hal gerakan penghematan energi secara nasional, terutama untuk kalangan PNS,” ujarnya.
Menurut dia, penggalakan reformasi birokrasi dan menjadikannya sebagai agenda nasional saat ini sangat mendesak karena ada indikasi stagnasi (jalan di tempat). Birokrasi masih belum memberikan pelayanan publik secara prima dan pemborosannya juga masih sangat tinggi.
Kemal juga mengusulkan agar ada tindak lanjut pembenahan dari sistem remunerasi birokrasi yang sudah mengalami peningkatan anggaran. “Dalam desain sistem remunerasi sekarang juga belum sehat, masih banyak honorarium dan tunjangan yang tidak jelas sehingga beban biaya gaji dan tunjangan setiap tahun makin membengkak,” ujarnya.
Dia mengemukakan, saat ini untuk Rp 1 program untuk masyarakat, negara harus membayar jumlah yang lebih besar untuk birokrasi dan hal ini sangat tidak sehat. Untuk itu, menurut dia, harus ada proses perbaikan. Pemerintah perlu menerapkan clean based salary. Dalam sistem remunerasi yang sudah berjalan, dan karena sudah cukup tinggi, maka seharusnya sudah bersih dan utuh meliputi seluruh tugas dan tanggung jawabnya.
“Dalam desain sistem remunerasi sekarang, konsep ini belum berjalan. Padahal remunerasi sudah cukup tinggi, tetapi masih banyak honorarium dan tunjangan yang tidak jelas. Seharusnya sudah tidak ada lagi pendapatan dari uang rapat, uang panitia kerja, uang proyek, uang makan, uang perjalanan, dan uang lain-lain yang masih berjalan sekarang. Ini harus segera diperbaiki,” ujarnya.
Kemal sebelumnya juga menyampaikan bahwa revitalisasi reformasi birokrasi diharapkan mampu menjawab masalah korupsi dan pemborosan. Indikator indeks persepsi korupsi yang masih buruk, menurut dia, menjadi salah satu indikator stagnasi reformasi birokrasi. “Korupsi birokrasi masih terindikasi cukup tinggi, dan ini menjadi tantangan yang serius. Kita berharap kementerian dan lembaga kembali menggulirkan agenda reformasi ini secara serius,” ujarnya.
Di samping itu, dia menekankan agar pemerintah serius memperhatikan beban belanja untuk birokrasi, yaitu belanja pegawai dan belanja barang telah makin tinggi dan berada pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Di lain pihak, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, aturan penghematan listrik untuk gedung-gedung pemerintah bukan sesuatu yang luar biasa. Hal ini juga sempat dilakukan pada 2008 hingga bisa mencapai penghematan anggaran belanja pemerintah. (Bayu/Yudhiarma/A Choir)
Sumber: Suara Karya Online