Jakarta, CNN Indonesia — Aturan pemerintah dianggap menghambat pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia, khususnya teknologi surya atap. Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM) No.1 /2017, seperti diungkap Direktur Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa.
Menurutnya, beleid ini menghambat pemanfaatan teknologi atap surya. Khususnya pemanfaatan panel surya untuk bangunan komersial dan industri serta fasilitas publik. Pasalnya, peraturan ini secara tidak langsung membuat pemilik gedung harus membayar biaya kapasitas kepada PLN apabila produksi listrik mereka lebih dari 25 kVA.
“Nah, dengan kebijakan ini tentu membuat para pemilik gedung menjadi berpikir ulang untuk menyediakan listrik dari energi terbarukan. Padahal kalau mereka bisa memproduksi cukup besar, mereka sebetulnya bisa menawarkan kepada penyewa gedung, apakah akan menggunakan listirik dengan sumber energi konvesional atau dari energi terbarukan,” jelas Yesi Maryam, dari IESR saat dikontak CNNIndonesia.com, Selasa (3/7).
Selain itu, Fabby juga menyebut bahwa regulasi ini secara tidak langsung menghambat pemilik gedung dan pabrik serta kawasan industri (untuk) memasang pembangkit listrik tenaga surya di atap bangunannya. Adanya bayaran tersebut membuat pengelolaan listrik mandiri tersebut menjadi lebih mahal.
Oleh karena itu Fabby mengatakan Kementerian ESDM harus segera merumuskan beleid yang bisa mendorong penggunaan teknologi listrik surya secara ekonomis. Fabby menilai adanya regulasi yang memadai bisa mendorong pasar teknologi photovoltaic di Indonesia.
“Seperti yang kita lihat di banyak negara, aplikasi teknologi listrik surya atap secara besar-besaran yang didukung pemerintah dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik surya. Bahkan di sejumlah negara listrik dari surya lebih murah dari listrik yang diproduksi PLTU batubara” kata Fabby
Hal ini akan menurunkan biaya teknologi dan investasi yang bersanding dengan peningkatan penggunaan teknologi dan investasi. Tentu saja hal ini dibarengi dengan pembukaan lapangan kerja.
“Dengan biaya investasi yang semakin rendah, listrik surya justru dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik secara keseluruhan,” kata Fabby.
Potensi Energi Surya di Indonesia
Fabby melanjutkan, Indonesia memiliki potensi surya atap yang cukup besar. Data laporan dari International Renewable Energy Agency (IRENA) 2017 menunjukkan potensi tenaga surya mencapai 3,1 GW per tahun.
“Rincian IRENA menghasilkan dimana sekitar 1 GW merupakan potensi dari listrik surya atap dan 2,1 GW untuk PLTS (ground mounted solar),” kata Fabby.
Fabby mengatakan tentu potensi ini bisa memenuhi Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menargetkan adanya peningkatan dari lima persen pada tahun 2015 menjadi 23 persen pada tahun 2025.
Target pencapaian energi ini secara lebih rinci juga dijabarkan dalam Perpres No. 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Oleh karena itu Fabby menilai baik KEN dan RUEN bisa dicapai dalam waktu yang lebih cepat “Target ini mengindikasikan kapasitas pembangkitan listrik dari energi terbarukan sebesar 45 GW, atau diperlukan tambahan sekitar 36 GW dari kapasitas pembangkit yang ada saat ini. Pembangkit Listrik Tenaga Surya ditargetkan mencapai 6,4 GW,” kata Fabby
Keterangan rilis menuliskan saat ini kapasitas pembangkit energi terbarukan baru mencapai 9 GW. Total kapasitas pembangkit listrik energi surya masih di bawah 100 MWp, potensi nasional yang tersedia mencapai 560 GWp.
Ketua Umum Asosiasi Ekonomi Surya Indonesia (AESI) Andhika Prasatawa mengatakan Perpres tersebut sejalan dengan yang komitmen Pemerintah Indonesia pada Conference of Parties (COP) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Khususnya CO2 sebesar 29 persen pada tahun 2030.
Andhika mengatakan solusi listrik surya atap ini berkontribusi pada komitmen penurunan emisi yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam COP pada tahun 2015 di Paris.
“Solusi listrik surya atap juga menjadi bagian dari upaya konservasi energi dan mengurangi pemakaian listrik yang bersumber dari bahan bakar fosil,” ujar Andhika.
Sumber: CNN Indonesia