JAKARTA (IFT) – Pemerintah disarankan menerapkan sistem tarif listrik progresif bagi pelanggan rumah tangga untuk menurunkan subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Herman Daniel Ibrahim, Anggota Dewan Energi Nasional, menjelaskan skema tarif seperti ini sudah diterapkan di sejumlah negara, seperti Thailand, Vietnam, dan Korea Selatan.
Dengan menggunakan skema tarif listrik progresif, pelanggan yang memakai listrik lebih banyak atau boros akan dikenakan tarif listrik yang lebih mahal. Herman mencontohkan di Thailand, untuk pelanggan yang mengonsumsi listrik rata-rata 0-150 per kilowatt hour per bulan, tarif listriknya sekitar 1,8 bath per kilowatt hour atau setara Rp 526 per kilowatt hour. Sedangkan untuk konsumsi listrik 151-400 per kilowatt hour per bulan, tarifnya 2,78 bath per kilowatt hour atau setara Rp 812 per kilowatt hour dan untuk konsumsi di atas 400 per kilowatt hour per bulan, pelanggan membayar 2,98 bath per kilowatt hour atau Rp 871 per kilowatt hour.
“Kebijakan ini hanya untuk pelanggan rumah tangga, namun mereka tidak dikenakan biaya beban,” kata Herman, Kamis.
Untuk pelanggan industri, Herman melanjutkan sistem tarif progresif diterapkan agar bisa berkompetisi dengan negara lain. “Tarif industri di Indonesia relatif mahal sehingga perlu ditata dengan memperhatikan tingkat kompetitif terhadap negara tetangga,” ujar dia.
Asumsi Makro Anggaran 2012 sub-sektor ketenagalistrikan memproyeksikan tarif tenaga listrik rata-rata tahun ini sekitar Rp 729 per kilowatt hour, sama seperti tarif dalam Anggaran Perubahan 2011. Besaran tarif ini dengan asumsi tidak ada kenaikan tarif tenaga listrik selama 2012. Apabila memasukkan skenario kenaikan tarif listrik sebesar 10% untuk pelanggan di luar 450 volt ampere sebesar 10% mulai 1 April 2012, tarif tenaga listrik diproyeksikan Rp 796 per kilowatt hour.
Sedangkan biaya pokok penyediaan tenaga listrik tahun ini diproyeksikan turun menjadi Rp 947 per kilowatt hour dibandingkan Anggaran 2011 sebesar Rp 920 per kilowatt hour dan Anggaran Perubahan 2011 sebesar Rp 1.060 per kilowatt hour. Total biaya penyediaan tenaga listrik tahun ini, dengan asumsi tarif tenaga listrik tetap maupun naik 10% per 1 April, sebesar Rp 164,5 triliun. Proyeksi penyediaan tenaga listrik tahun ini turun tipis dibanding proyeksi dalam Anggaran Perubahan 2011 sebesar Rp 166,8 triliun.
Perlu Kajian
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mendukung usulan penerapan tarif listrik progresif. Namun sebelum kebijakan tersebut diterapkan, pemerintah dan PT PLN (Persero) perlu mengkaji berapa rata-rata volume konsumsi listrik yang ideal untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
“Misalnya sekitar 60 kilowatt hour per bulan itu tarif listriknya masih disubsidi. Jika konsumsi di atas 60 per kilowatt hour, itu bisa saja langsung dikenakan tarif keekonomian,” ujarnya.
Namun untuk besaran tarif keekonomian harus direvisi setiap tahun, menurut Fabby, dapat disesuaikan dengan rata-rata biaya pokok produksi listrik PLN. Dalam perhitungan tarif listrik keekonomian, lanjut Fabby, komponen biaya investasi PLN juga dimasukkan agar perseroan dapat membangun infrastruktur kelistrikan untuk memenuhi pertumbuhan konsumsi listrik di masyarakat.
Penerapan sistem tarif progresif ini sebaiknya hanya diterapkan pada pelanggan rumah tangga karena saat ini pelanggan rumah tangga merupakan pengguna 75% dana subsidi listrik. “Kalau pelanggan industri tidak perlu dikenakan. Khusus industri, mereka dikenakan tarif yang flat (tetap),” ujar dia.
Menurut Fabby, penerapan kebijakan ini dapat membantu pemerintah menurunkan subsidi listrik di Anggaran serta dia berharap dapat mengubah perilaku konsumsi listrik pada masyarakat. Namun, perubahan perilaku ini bergantung pada kemampuan bayar dari pelanggan. Jika pelanggan sanggup membayar tarif keekonomian maka tidak ada perubahan perilaku secara drastis. “Kalau peningkatan biayanya terlalu tinggi, saya yakin akan ada pengurangan konsumsi,” katanya.
Murtaqi Syamsuddin, Direktur Perencanaan dan Manajemen Bisnis PLN, saat dikonfirmasi mengatakan penerapan sistem tarif progesif dapat membuat penyaluran subsidi listrik menjadi lebih tepat sasaran. Dengan tarif yang ada sekarang, sebenarnya alokasi subsidi listrik masih belum tepat sasaran.
“Falsafah subsidi itu seharusnya hanya untuk pelanggan yang kurang mampu, namun sampai sekarang banyak pelanggan mampu yang masih menikmati subsidi,” kata dia.
Menurut Murtaqi, penentuan skema tarif listrik bukan wewenang PLN sehingga perseroan melaksanakan apapun kebijakan pemerintah terkait hal tersebut. “Kalau pemerintah akan menerapkan kebijakan tarif progresif, PLN siap melakukan exercises mengenai dampak dan mekanisme penerapannya,” ujar dia.
Satya W Yudha, anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, mengatakan penerapan sistem tarif progresif dapat membuat pelanggan listrik lebih mengatur pemakaian listrik. Juga dapat membuat pemberian subsidi listrik menjadi lebih tepat sasaran.
Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan ini, menurut Satya, pemerintah dan PLN perlu menyederhanakan sistem penggolongan tarif listrik. Saat ini ada 21 klasifikasi tarif dan itu dia nilai terlalu banyak. “Kami belum bisa memberikan dukungan politik terhadap penerapan kebijakan ini sebelum pemerintah mengusulkannya ke Dewan,” kata dia.
Sumber: IFT.