VIVA.co.id – Pemerintah didesak untuk segera menuntaskan proses renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan Mineral dan Batubara. Prosesnya harus secara transparan dan akuntabel.
“Pemerintah juga harus memperhatikan concern Pemerintah Daerah terkait keinginan agar pabrik smelter PT. Freeport dibangun di Papua,” kata Maryati Abdullah, Koordinator Publish What You Pay Indonesia, dalam keterangan persnya, Minggu 15 Februari 2015.
Mengenai kekurangan pasokan listrik, kata dia, Freeport disarankan membangun pembangkit listrik sendiri. Proyek ini bisa bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk sekaligus memenuhi kebutuhan listrik wilayah Papua.
Sedangkan terkait kenaikan tarif royalti, sudah tepat Pemerintah menegosiasikan kenaikan tarif, karena tarif yang diberlakukan kepada Freeport selama ini terlalu kecil dan tidak sesuai dengan nilai keekonomian sektor tambang ini yang dimandatkan konstitusi untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
“Namun, Pemerintah hendaknya segera menuangkan hasil-hasil renegosiasi tersebut ke dalam bentuk amandemen kontrak, agar kekuatan hukumnya lebih mengikat,” kata Maryati.
Data PWYP menyebutkan bahwa Freeport selama 3 (tiga) tahun berturut-turut ditengarai tidak membayarkan dividennya kepada Pemerintah.
Fabby Tumiwa, ketua Dewan Pengarah PWYP Indonesia, menyampaikan bahwa berdasarkan peristiwa ini, Pemerintah harus melakukan audit terhadap seluruh laporan keuangan PT Freeport Indonesia untuk memastikan bahwa kontribusi PT Freeport Indonesia atas pengelolaan sumber daya alam kita benar-benar sesuai dengan ketentuan.
“Audit ini bisa dilakukan oleh BPK atau auditor independen yang sekaligus untuk membuktikan “klaim” PT Freepor Indonesia mengalami kerugian sehingga selama tiga tahun berturut-turut (2012, 2013 dan 2014) tidak membayarkan dividennya kepada Pemerintah,” katanya.
Data PWYP Indonesia yang bersumber dari Kementerian ESDM menggambarkan, dari total 34 KK (Kontrak Karya) dan 73 PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) yang harus direnegosiasi, Pemerintah baru menandatangani 1 Amandemen KK, selebihnya ada yang telah sepakat dan baru menandatangani MOU (26 KK, 61 PKP2B) sedangkan sekitar 19 perusahaan lainnya masih menyepakati sebagian dari isi MOU.
“Batas waktu renegosiasi KK dan PKP2B menurut Undang-Undang telah lewat, jika Pemerintah tidak segera menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka negara berpotensi mengalami kerugian akibat tarif royalti yang masih rendah,” kata Aryanto Nugroho, Koordinator Advokasi PWYP Indonesia.
Kerugian lain, kata Aryanto, adalah peningkatan nilai tambah ekonomi yang tertunda, serta manfaat-manfaat lain yang sejatinya dapat dioptimalkan oleh Pemerintah seperti divestasi dan pemenuhan penggunaan barang dan jasa dalam negeri. (ren)
Sumber: viva.co.id.