Pemerintah Rampungkan Peta Jalan Dekarbonisasi Industri

Jakarta, 21 Agustus 2025 –  Industri menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS terbaru, sektor industri menyumbang 18,9% terhadap PDB nasional, menyerap 19,3 juta tenaga kerja, serta mencatat investasi asing senilai Rp80,538 triliun. Selain itu, 34% emisi nasional bersumber dari aktivitas industri, di mana 36% emisi industri tersebut berasal dari industri dengan intensitas energi tinggi, seperti semen, besi dan baja, pupuk, pulp dan kertas, tekstil, kaca dan keramik, makanan-minuman, serta otomotif. Hal ini diungkapkan Kepala Pusat Industri Hijau di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Indonesia, Apit Pria Nugraha dalam acara The 2nd AIGIS 2025 hari kedua pada Kamis (21/8/2025) yang turut didukung oleh Institute for Essential Services Reform (IESR). 

“Kesembilan sektor industri dengan intensitas energi tinggi ini menjadi prioritas untuk melakukan dekarbonisasi. Kami memiliki target dekarbonisasi ini untuk terwujudnya industri nasional yang kompetitif dan beroperasi dengan emisi nol bersih pada 2050 dan pembentukan ekosistem industri hijau. Tentunya banyak sekali instrumen-instrumen pendukung yang harus disiapkan, mulai dari suplai energi, material, teknologi rendah karbon yang harus terjangkau dan handal. Lalu juga perlu ada mekanisme pendanaan yang ada insentif yang beragam dan juga mudah diakses, dan juga ada kerangka regulasinya (regulatory framework),” tegas Apit. 

Untuk itu, kata Apit, pemerintah  telah menyusun Peta Jalan Dekarbonisasi Industri. Namun, roadmap ini masih bersifat living document, artinya akan terus diperbarui sesuai perkembangan data dan teknologi. Saat ini, roadmap mencakup emisi dari energi dan proses industri (IPPU), sementara sektor limbah belum dipetakan. 

“Peta jalan ini memiliki dua keluaran utama yaitu  laporan teknis berisi trayektori penurunan emisi, strategi dan dekarbonisasi, kebutuhan investasi, dampak pada harga produk, serta kebutuhan energi dan material, dan laporan kebijakan (policy report) berisi analisis kesenjangan regulasi, pendanaan, serta teknologi untuk mendukung dekarbonisasi,”  ujar Apit.

Apit menambahkan bahwa dokumen resmi roadmap akan diluncurkan pada September 2025, diikuti laporan kebijakan pada Maret 2026, serta regulasi pendukung berupa Peraturan Menteri Perindustrian pada Juni 2026. Selanjutnya, regulasi per subsektor akan diterbitkan secara bertahap mulai September 2026.

Apit menegaskan, berdasarkan profil emisinya terdapat 46% emisi di industri manufaktur berasal dari energi yang dibangkitkan secara langsung, 16% dari pembelian listrik, dan 38% dari proses kimiawi pada proses produksi dan aplikasi produk (IPPU). Industri manufaktur ini menghasilkan lebih banyak emisi energi, walau proporsinya cukup berimbang dengan emisi IPPU. 

Implementasi Peta Jalan Dekarbonisasi Industri ini akan berkontribusi pada pengurangan 68 juta ton setara karbon dioksida emisi pada tahun 2035 dan 291 juta ton setara karbon dioksida emisi pada tahun 2050. 

Untuk menekan emisi sekaligus menjaga daya saing industri, pemerintah menetapkan lima pilar strategi dekarbonisasi. Pertama, meningkatkan efisiensi energi dan material agar konsumsi sumber daya lebih hemat. Kedua, mengganti bahan bakar dan material dengan alternatif yang lebih bersih, termasuk energi terbarukan. Ketiga, mengubah proses produksi agar menggunakan teknologi rendah karbon. Keempat, mendorong elektrifikasi dan pemanfaatan energi terbarukan di proses manufaktur. Kelima, mengembangkan teknologi penyerapan karbon seperti CCU, CCS, dan CCUS sebagai penopang reduksi emisi jangka panjang. Seluruh pendekatan ini menekankan pentingnya mengurangi emisi terlebih dahulu, sebelum akhirnya menetralkan sisa emisi dengan teknologi penyerapan karbon.

Sementara itu, Faricha Hidayati, Koordinator Program Dekarbonisasi Industri, IESR menyatakan tantangan terbesar dari seluruh strategi ini adalah ketersediaan teknologi, biaya investasi, dan pasokan energi bersih yang cukup. Hidrogen hijau, misalnya, diperkirakan baru bisa diadopsi lebih luas pada 2030 karena saat ini harganya masih tinggi. Demikian pula dengan teknologi penangkapan dan pemanfaatan karbon, atau CCU/S, yang membutuhkan perencanaan infrastruktur dan kepastian regulasi yang memadai sesegera mungkin, meskipun pemanfaatannya diperkirakan masih dalam jangka panjang dikarenakan biaya pengurangan emisi (abatement) yang tinggi dibanding teknologi lainnya.

“Meski jalannya panjang, peta jalan dekarbonisasi industri di Indonesia hingga 2050 memberikan harapan. Sektor-sektor utama seperti tekstil, otomotif, kaca, keramik, minyak goreng, dan gula dapat berkontribusi signifikan menurunkan emisi jika langkah-langkah teknologi, elektrifikasi, dan peralihan bahan bakar dijalankan konsisten. Kuncinya adalah kolaborasi antara industri, pemerintah, dan penyedia energi bersih untuk memastikan transformasi ini tidak hanya menekan emisi, tetapi juga menjaga daya saing industri nasional di pasar global,” kata Faricha.

Share on :

Leave a comment