Jakarta, 21 Januari 2021 – Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang keputusan pemerintah untuk mengevaluasi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) merupakan langkah yang tepat dengan catatan bahwa evaluasi tersebut jangan sampai menurunkan target bauran
energi terbarukan yakni sebesar 23% pada 2025.
IESR menilai evaluasi RUEN diperlukan karena berbagai asumsi dasar yang digunakan untukmemproyeksikan permintaan dan pasokan energi lima tahun lalu tidak relevan dengan situasi sebenarnya, antara lain asumsi pertumbuhan ekonomi, populasi, tingkat energi per kapita, demikian juga keekonomian dan biaya investasi pembangkit energi terbarukan. Dalam RUEN 2017, kebutuhan kapasitas pembangkit di 2025 mencapai 135 GW yang terdiri dari 90 GW pembangkit fossil dan 45 GW pembangkit energi terbarukan.
Evaluasi ini bisa memberikan informasi profil permintaan dan pasokan energi yang terkini dan riil, dan semakin meningkatkan akurasi dalam membuat proyeksi kebutuhan pasokan energi jangka panjang, serta kebutuhan investasi dan dukungan kebijakan antar sektor yang lebih realistis,
terarah dan terukur. Meskipun demikian, IESR mengingatkan agar dalam evaluasi RUEN, target bauran energi terbarukan tidak diperkecil, malah perlu diperbesar, serta menurunkan penggunaan batubara untuk pembangkitan listrik.
“Pemerintah Indonesia harus memanfaatkan dampak pandemi dan evaluasi RUEN untuk menetapkan target bauran energi terbarukan yang lebih tinggi dalam rangka dekarbonisasi sektor energi. Sesuai dengan PP No. 79/2014 maka bauran energi terbarukan ditargetkan paling sedikit 23 persen di 2025. Jadi sebenarnya energi terbarukan dapat dinaikan lebih tinggi daripada target saat ini, apalagi keekonomiannya semakin baik” ujar Fabby Tumiwa, Eksekutif Direktur IESR.
Dalam RUEN 2017, batubara memainkan peranan penting untuk pembangkitan tenaga listrik dan masih cukup dominan hingga 2050. Penggunaan energi fosil, khususnya batubara, dalam jangka panjang perlu dikaji ulang, seiring dengan upaya dekarbonisasi. Merujuk pada analisis World
Energy Outlook 2020 oleh IEA, permintaan batubara global akan sedikit meningkat di 2021 tapi kemudian akan turun secara signifikan. IEA memperkirakan untuk mencegah kenaikan temperatur global 1,5 ℃ dan mencapai net-zero emission pada 2050 sesuai Paris Agreement maka penggunaan batubara secara global akan turun 66% dari 2019-2030, seiring dengan berkurangnya PLTU subkritikal. Tren ini tentunya juga akan berdampak pada ekspor dan pendapatan dari batubara di masa depan. Sebaliknya, permintaan energi terbarukan terus tumbuh, dengan pertumbuhan 0,9%.
Evaluasi RUEN 2017 perlu mengintegrasikan paradigma dekarbonisasi dan transisi energi. Dalam kajian IESR berjudul National Energy General Plan (RUEN): Existing Plan, Current Policies Implication and Energy Transition Scenario, menemukan bahwa RUEN 2017 belum mengadopsi visi transisi energi dan kurang ambisius dalam mengembangkan energi terbarukan. Sementara, Dewan Energi Nasional (DEN) masih terjebak dengan pandangan bahwa Indonesia masih memiliki sumber daya energi fosil yang besar. Padahal dalam kondisi dunia hari ini, utilisasi
sumberdaya energi fosil harus diturunkan, dan mendorong penggunaan teknologi bersih untuk produksi energi.
Mencermati kondisi menurunnya laju permintaan listrik dan ancaman terjadinya over supply, serta untuk memperbesar porsi energi terbarukan, maka kapasitas energi fosil harus diturunkan. Karena itu, dalam kajian IESR tentang RUEN, IESR merekomendasikan pemerintah untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik PLTU batubara baru mulai tahun 2025, menutup PLTU batubara yang telah berusia lebih dari 30 tahun, dan mengakselerasi pembangunan pembangkit-pembangkit energi terbarukan sebagai penggantinya, salah satunya dengan
mempercepat PLTS dan teknologi penyimpan (storage).
Menteri ESDM, Arifin Tasrif pada Rapat Kerja dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (19/1/2021) menuturkan bahwa pihaknya merencanakan untuk merelokasi eksisting pembangkit yang sudah tua yang berusia di atas 20- 25 tahun, yang kemungkinan bisa direlokasi ke tempat-tempat yang membutuhkan dan memang memiliki potensi industri smelter.
Menanggapi hal tersebut, Agus Praditya Tampubolon peneliti di IESR yang juga menuliskan kajian tentang RUEN, menyatakan bahwa relokasi pembangkit tua menjadi tidak efektif. “Umur optimal pembangkit fosil antara 20-30 tahun. Jadi akan sangat tidak efektif melakukan upaya relokasi pembangkit tersebut, karena dalam waktu singkat setelah relokasi, pembangkit tersebut harus segera ditutup sebab sudah melampaui umur ekonomisnya. Selanjutnya, bila ingin mendorong transisi energi, maka seharusnya pemerintah mengganti pembangkit-pembangkit fosil dengan pembangkit energi terbarukan, apalagi bila pembangkit fosil tersebut sudah berusia di atas 20 tahun,” tutupnya.