Climate Transparency Report 2020 Launch and Virtual Discussion “Just Transition to a Low Carbon Economy: Accelerating Indonesia’s Recovery and Green Economic Growth”
Session 1: Panel Discussion on “Just Transition to a Low Carbon Economy: “Accelerating Indonesia’s Recovery and Green Economic Growth”
Jakarta, 3 Desember 2020 – “Semua negara, secara global, termasuk negara G20 tengah menghadapi darurat kesehatan dan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Namun dunia juga tetap harus fokus melawan musuh dengan kekuatan penghancur yang lebih besar, yakni perubahan iklim,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam sambutannya membuka peluncuran Laporan Transparansi Iklim 2020 (Climate Transparency Report 2020) secara daring.
Laporan Transparansi Iklim (sebelumnya dikenal sebagai “Laporan Brown to Green“) adalah tinjauan tahunan paling komprehensif di dunia atas tindakan iklim negara-negara G20 dan transisinya menuju ekonomi yang netral karbon. Transparansi Iklim merupakan kemitraan global dari 14 lembaga think tank dan LSM dari sebagian besar negara G20 yang mendapat dukungan dari Kementerian Federal Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keamanan Nuklir, Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia atau BMU Jerman.
Laporan tahun ini menganalisis kinerja negara-negara G20 di 100 indikator adaptasi iklim, mitigasi, dan sektor finansial. Tahun ini, Laporan Transparansi Iklim memuat pula respon pemerintah G20 terhadap krisis Covid-19 serta data dan proyeksi emisi terbaru untuk tahun 2020.
Lebih jauh, Fabby menuturkan negara G20, yang mewakili 75% emisi gas rumah kaca global, harus segera mengambil keputusan yang tepat dalam mengatasi pandemi dan perubahan iklim. Hal ini untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris agar tidak terjadi kenaikan suhu global diatas 1,5-20C yang berakibat pada bencana alam, kelaparan, kemiskinan dan gelombang pengangguran.
Demi mempertajam ambisi mitigasi iklim, di tahun 2020, semua negara yang ikut menandatangani Perjanjian Paris diminta untuk memperbaharui target iklim Nationally Determined Contributions (NDC) nya. Namun, Indonesia telah menyatakan tidak akan memperbaharui atau meningkatkan target NDC-nya karena masih harus fokus pada penanganan Covid-19 dan dampak dari resesi ekonomi di perekonomian Indonesia.
Ekonomi Indonesia memang mengalami kontraksi yang signifikan. Terlihat dari pertumbuhan ekonomi telah dua kali berturut-turut negatif di kuartal II (- 5.32%) dan di kuartal III (- 3.49%). Pemerintah telah berupaya untuk keluar dari jurang resesi, diantaranya dengan memberikan stimulus perlindungan sosial dan stimulus untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) demi menggeliatkan kembali sektor perekonomian Indonesia yang utamanya ditopang oleh industri UMKM.
Selain itu, pada April 2020, Indonesia telah menetapkan anggaran di dalam APBN untuk mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sebagian besar anggaran ini dialokasikan untuk perusahaan produsen bahan bakar fosil dibandingkan untuk investasi hijau. Hampir sekitar Rp 100 triliun dari hampir lebih Rp 327 triliun akan disalurkan untuk perusahaan milik negara, Pertamina (minyak) dan PLN (listrik). Pada pertengahan Juli 2020, pemerintah telah berkomitmen untuk menyalurkan dana sebesar USD 6,49 miliar yang mendukung energi bahan bakar fosil, sementara hanya sekitar USD 237,17 juta digunakan untuk mendukung energi bersih melalui kebijakan yang dikeluarkan sejak awal tahun 2020.
“Langkah yang tepat untuk pulih dari krisis kesehatan dan resesi ekonomi akibat Covid-19 ini adalah dengan melakukan investasi lebih besar ke arah energi terbarukan dan menerapkan pemulihan hijau (green recovery),” tukas Lisa Wijayani, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR dalam pemaparannya mengenai temuan hasil Laporan Transparansi Iklim.
Status NDC Indonesia Sangat Tidak Mencukupi
Laporan Transparansi Iklim 2020 merekomendasikan lima Prinsip Pemulihan Ekonomi Hijau yakni, 1) Pemerintah negara anggota G20 dapat mengarahkan investasi ke infrastruktur yang berkelanjutan. 2) Investasi yang berbasis alam dan lingkungan. 3) Investasi pada pendidikan, pelatihan, dan pengembangan (litbang) industri ramah lingkungan. 4) Menyalurkan dana talangan bersyarat yang sejalan dengan komitmen iklim jangka panjang. 5) Negara anggota G20 dapat memperkuat kebijakan, peraturan, dan insentif untuk mendukung transisi yang berkelanjutan.
“Pemulihan hijau dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Juga sanggup menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan nilai ekonomi lokal, mampu meningkatkan keanekaragaman hayati dan lingkungan serta memberikan keamanan finansial dan manfaat fiskal. Keuntungan lainnya ialah meningkatkan akses dan keamanan energi,” urai Lisa.
Berdasarkan analisis Laporan Climate Transparency, Lisa menyayangkan target NDC Indonesia masih sangat tidak mencukupi (highly insufficient) untuk mengurangi 26 persen gas emisi rumah kaca di tahun 2025 dan 29 persen di tahun 2030.
“Penghasil emisi tertinggi berasal dari sektor industri (37%), menyusul bidang transportasi (27 %), dan sektor energi (27%). Sejauh ini ada beberapa hal positif yang sudah pemerintah lakukan. Kementerian ESDM telah mengeluarkan Permen No. 4 tahun 2020 untuk memperkuat daya saing energi terbarukan. Sementara, saat ini Perpres tentang energi terbarukan sedang menunggu persetujuan Presiden yang memuat peraturan tentang fit in tariff untuk energi terbarukan dengan kapasitas di bawah 5 MW,” jelas Lisa.
Namun dari laporan Climate Transparency ini tetap mendorong pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah untuk melepaskan diri dari industri fosil dengan penghapusan bertahap penggunaan batubara, pembatasan biaya publik untuk bahan bakar fosil, peningkatan target energi terbarukan, penetapan kebijakan untuk memperkuat dan memperbaiki struktur bangunan yang ada, penetapan harga karbon dan penghijauan sektor keuangan.
Indonesia Menjadi ‘ Titik-panas’ Hotspot Pekerja Industri Hijau
Meresponi pemaparan hasil Laporan Climate Transparency, Kuki Soejachmoen, Pendiri Lembaga Penelitian Dekarbonisasi Indonesia pun menyadari bahwa penurunan emisi karbon tahun ini lebih banyak berasal karena pembatasan kegiatan dan mobilisasi untuk mencegah penularan Covid-19. Namun Kuki menekankan bahwa persoalan perubahan iklim ini bukanlah suatu fenomena yang tiba-tiba.
“Upaya pembatasan suhu global ini sudah berlangsung sekitar 20 tahun. Sepatutnya kita sudah lebih bersiap menghadapinya,” tegasnya.
Ia berharap, kebijakan yang mempertimbangkan perubahan iklim juga bisa teraktualisasi di sistem keuangan di Indonesia.
Noor Syaifudin, Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal mengatakan bahwa pihaknya telah mengeluarkan kebijakan terkait insentif cuti pajak penghasilan (PPh) wajib pajak badan atau tax holiday dan juga pengurangan pajak (tax allowance) bagi perusahaan, termasuk yang bergerak di energi terbarukan.
“Kami juga terus mendorong pihak swasta untuk terlibat dalam pendanaan yang berkaitan dengan perubahan iklim. Sekarang kami sedang mendiskusikan kebijakan terkait harga karbon dan penyusunan kerangka fiskal perubahan iklim yang memuat strategi pemenuhan target NDC dan SDG,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, Cristina Martinez, International Labour Organization (ILO), Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok mendorong pemerintah Indonesia melakukan koordinasi kebijakan lintas kementerian serta memberikan dukungan stimulus.
“Terutama untuk mereformasi sistem pendidikan agar lebih bersaing dengan perkembangan energi terbarukan,” ujar Martinez.
“ILO memproyeksikan di tahun 2030 kawasan Asia Pasifik sebagai titik terpanas (hottest spot) untuk pekerjaan di sektor energi terbarukan di dunia. Terutama China, India dan Indonesia,” ungkapnya.
“Kesempatan kerja di industri ramah lingkungan atau industri hijau akan terbuka sangat lebar,” sambung Dessi Yuliana, Spesialis Investasi Hijau di Global Green Growth Institute (GGGI).
Dessi menjelaskan berdasarkan hasil kajian yang ia pelajari dari industri hijau akan tercipta lapangan pekerjaan sebanyak 2 hingga 5 kali lipat dibandingkan industri fosil.
“Untuk mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan, sebenarnya Indonesia dapat menciptakan 7 juta pekerjaan di tahun 2030. Bandingkan dengan industri fosil yang hanya mampu menciptakan 3,9 juta lapangan kerja saja,” tandasnya.
Tentu saja, dampak menguntungkan selain memberikan pendapatan bagi para pekerja, juga menjawab masalah-masalah lingkungan seperti kekurangan air dengan restorasi gambut, dan penghijauan bakau.
Lucia Karina Direktur Public Affairs, Communications & Sustainability, Coca-Cola Amatil Indonesia menyebutkan bahwa investasi dalam bidang penelitian ramah lingkungan juga penting. Pihaknya dalam proses pendistribusian produk juga sudah berinovasi dalam sistem pendingin yang 2 kali lebih hemat energi.
Coca Cola Amatil, yang mempekerjakan lebih dari 9500 karyawan menargetkan penggunaan 60 persen energi terbarukan dalam mengoperasikan bisnisnya dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Sayangnya, banyak tantangan yang harus perusahaan hadapi dalam pembangunan PLTS ini.
“Semacam sulitnya mengurus perizinan dan birokrasi yang panjang serta investasi yang cukup mahal. Sebaiknya pemerintah harus segera memperbaiki ini sehingga industri tidak ragu dalam implementasi energi terbarukan sebagaimana negara lain di dunia sudah lakukan,” ungkapnya.
Secara umum, pemerintah Indonesia sepakat bahwa pemulihan ekonomi dan sosial Indonesia harus ditempatkan tepat dalam kerangka tujuan pembangunan berkelanjutan dengan penekanan bahwa tidak ada yang boleh tertinggal (no one left behind). Hal ini disampaikan oleh Agustaviano Sofjan, Direktur Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, pada kesempatan yang sama.
“Pada KTT G20 di bawah kepemimpinan Saudi Arabia, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pasca-pandemi Indonesia bercita-cita untuk membangun ekonomi yang lebih inklusif, berkelanjutan dan tangguh. Presiden juga menekankan bahwa Indonesia akan melakukan transformasi besar dengan komitmen pada ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan,” ulasnya.
Agustaviano menambahkan bahwa beberapa tahun ke depan, Indonesia akan memainkan peran strategis di percaturan internasional. Hal ini akan mendukung pemulihan sosial dan ekonomi nasional yang inklusif dan berkelanjutan.
“Kepresidenan Indonesia untuk G20 telah dipercepat dari sebelumnya tahun 2023 sekarang menjadi 2022. Mulai tahun 2021 kita juga akan menjadi anggota Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Pada 2023 indonesia juga akan menjadi ketua ASEAN,”ujar Agustaviano.
Pemerintah berharap agar terjalin kerjasama yang baik antara parlemen, pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, seperti IESR dan juga media untuk mendorong pemulihan ekonomi Indonesia.