Jakarta, 23 September 2021 – Sebagai penghasil emisi terbesar kedua di sektor energi setelah sektor pembangkit listrik, elektrifikasi sektor transportasi yang berbasis pada energi terbarukan akan menjadi salah satu pilar penting untuk menekan emisi karbon dan mencegah kenaikan suhu bumi melebihi 1.5 derajat Celcius. Setidaknya ada tiga pendorong utama percepatan adopsi kendaraan listrik yakni tersedianya regulasi mendukung, infrastruktur yang memadai dan keterjangkauan harga.
Faktor pendorong utama tersebut disampaikan oleh Rahul Gupta, Ahli Senior di McKinsey & Company dalam analisisnya yang dipaparkan pada hari keempat pelaksanaan acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021. Menurutnya, ada peluang ekonomi besar bagi Indonesia jika mampu menciptakan ekosistem kendaraan listrik, karena Indonesia berpotensi menjadi pasar terbesar setelah Cina dan India.
“Kami memproyeksikan kendaraan roda dua menjadi penggerak utama dalam hal penetrasi (kendaraan listrik) yang lebih tinggi secara signifikan,” jelasnya.
Membandingkan dengan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, Zainal Arifin, Wakil Presiden Pengembangan dan Standarisasi Teknologi, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengakui bahwa infrastruktur kendaraan listrik di Indonesia masih terbatas.
“Kami sudah membangun 32 stasiun pengisian kendaraan listrik di 14 kota. Berdasarkan roadmap (peta jalan kendaraan listrik-red) kita akan memiliki lebih dari 2400 unit untuk stasiun pengisian daya kendaraan listrik di seluruh Indonesia dalam 5 tahun ke depan,” ungkapnya.
Zainal menambahkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur kendaraan listrik, pembangunan stasiun pengisian daya akan dipenuhi 40%nya oleh PLN sementara sisanya akan dibangun oleh perusahaan swasta. Selain itu, Zainal juga menuturkan perbedaan harga yang jauh dengan kendaraan konvensional membuat permintaan kendaraan listrik kurang menggembirakan.
Persoalan harga juga menjadi sorotan oleh Sony Sulaksono, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan, Kementerian Perindustrian. Ia mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia telah menetapkan target 1.6 juta roda dua dan 400 ribu kendaraan listrik roda empat pada 2025. Sementara hingga kini, adopsi kendaran listrik di Indonesia hingga saat ini berada di bawah 2000 unit.
Menurutnya pemerintah telah berupaya menurunkan harga dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) NO. 74 yang mengatur insentif dan disinsentif kendaraan listrik dan kendaraan konvensional.
“Misalnya dengan pemberian 0% pajak mewah untuk kendaraan listrik,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menyoroti bahwa mahalnya harga kendaraan listrik juga dipengaruhi oleh biaya baterai yang mencakup 40-50% dari total biaya kendaraan listrik.
Menurut Sony, jasa penukaran baterai (battery swap stations) menjadi solusi seiring masih dikembangkannya pengembangan dan penelitian terkait baterai kendaraan listrik, sehingga bisa mengurangi beban biaya. Ia menjelaskan menggunakan skema ini, nantinya perusahaan transportasi menyewakan baterai listrik untuk masyarakat. Biaya yang dikenakan bisa berdasar kilometer yang ditempuh kendaraan listrik.
Dihubungi di tempat yang berbeda, Idoan Marciano, Peneliti dan Spesialis Energi dan Kendaraan Listrik, IESR, menyampaikan hal yang perlu dilakukan untuk kesenjangan harga kendaraan listrik adalah peningkatan insentif pajak dari pemerintah, penggunaan model kendaraan listrik yang lebih terjangkau dan cocok dengan preferensi masyarakat Indonesia, serta secara paralel mempercepat pembangunan industri baterai domestik.
“Pengembangan industri baterai domestik menjadi hal yang penting untuk mendukung upaya pencapaian target dekarbonisasi mendalam. Keberadaannya akan mendukung penetrasi kendaraan listrik dan penting bagi jaringan listrik seiring dengan peningkatan bauran energi terbarukan,” jelas Idoan.
Toto Nugroho Pranatyasto, Presiden Direktur Indonesian Battery Company (IBC) mengatakan IBC sedang dalam proses produksi dan pengembangan baterai listrik. Selain itu IBC juga melakukan pengembangan daur ulang baterai untuk mengantisipasi limbah baterai.
“Pengembangan ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan cepat, kami butuh investasi jumlah besar. Untuk mengembangkan 140 GWh kapasitas baterai, kami butuh investasi sekitar USD 15.3 miliar dalam jangka waktu tiga hingga empat tahun,” kata Toto dalam IETD 2021.
Toto mengatakan selain proses pengembangan baterai listrik, IBC juga melibatkan berbagai mitra untuk merancang rantai pasokan dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan rantai ekosistem kendaraan listrik.
“Pemerintah perlu mendorong kendaraan listrik untuk masuk ke segmen biaya menengah. Kendaraan roda dua rentang harganya juga perlu dibuat terjangkau,” kata Toto.