Jakarta, 20 Oktober 2023 – Pada abad ke-21 ini, perubahan iklim telah menjadi permasalahan di seluruh dunia. Upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mencapai Net Zero Emission (NZE) telah menjadi tujuan krusial yang harus dikejar. Untuk mencapai NZE, peralihan dari sumber energi berbasis fosil seperti batubara menjadi sumber energi bersih dan berkelanjutan menjadi langkah yang sangat penting. Oleh karena itu, pengakhiran dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara menjadi langkah krusial untuk mencapai NZE.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menuturkan, dua tahun terakhir Pemerintah Indonesia sudah lebih ambisius untuk melakukan transisi energi. Hal ini bisa dilihat dari terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022, yang menyatakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) perlu menyusun peta jalan pengakhiran operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dengan mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian BUMN. Apabila melihat ketentuan tersebut, lanjut Fabby, maka PLTU batubara berhenti beroperasi pada 2050.
“Pemerintah juga tengah menggodok kebijakan energi nasional (KEN) yang baru untuk menggantikan PP No 79 tahun 2014 tentang kebijakan energi nasional, revisi ini sepertinya akan menjadi peta jalan bagi Indonesia untuk melakukan transisi energi serta menjadi rencana transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Kita juga bisa melihat PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tengah menyiapkan rencana umum penyediaan tenaga listrik yang baru dengan mengakomodasi peta jalan untuk melakukan transisi energi dan mencapai NZE di sektor ketenagalistrikan pada 2050,” terang Fabby di acara “Market Review” yang disiarkan oleh IDX Channel pada Jumat (20/10/2023).
Fabby menekankan, transisi energi dapat berhasil apabila terdapat investasi ataupun pendanaan sesuai kebutuhan. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diupayakan untuk mempercepat transisi energi, di antaranya mengakselerasi pembangunan energi terbarukan, membangun infrastruktur pendukung seperti transmisi distribusi dan energy storage yang dibutuhkan untuk mendukung keandalan sistem energi, serta pengakhiran operasi PLTU lebih awal. Hal ini diperlukan agar Indonesia dapat mencapai target porsi energi terbarukan nasional sekitar 34% pada 2030.
“Kalau tidak ada penurunan kapasitas PLTU batubara di sistem ketenagalistrikan, sukar kiranya meningkatkan bauran energi terbarukan setinggi target tersebut. Kita perlu melakukan transisi energi agar mencapai target NZE di sektor ketenagalistrikan pada 2050,” kata Fabby.
Fabby menuturkan, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 tentang Pemberian Dukungan Fiskal Melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan dapat menjadi dasar pengalokasian APBN untuk mendukung pengakhiran operasi PLTU lebih awal. Hal ini menjadi penting karena Indonesia juga telah meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform, sebuah bentuk koordinasi utama dan penggerak untuk mendorong transisi yang adil dan terjangkau di Indonesia untuk sektor energi pada tahun lalu. Pendanaan awal dari ETM berasal dari Asian Development Bank (ADB) dan Climate Investment Fund.
“Platform tersebut saat ini dipakai untuk strukturisasi pendanaan pensiun dini dua PLTU yakni PLTU Cirebon milik swasta dan PLTU Pelabuhan Ratu milik PT PLN. Apabila keduanya berhasil distrukturkan maka akan dipensiunkan pada 2035. Berdasarkan hitungan IESR, kapasitas PLTU batubara yang harus berhenti operasinya sekitar 8-9 GW. Hal ini patut dilihat mengingat sampai sekarang belum ada rencana untuk mengakhiri operasi lebih awal sebelum 2030, padahal kita perlu melakukannya. Mengacu ETM yang sudah ditetapkan, salah satu sumber pendanaan berasal dari APBN. Dengan terbitnya PMK tersebut, maka dasar hukumnya ditetapkan,” papar Fabby.
Fabby menyatakan, untuk melakukan pensiun dini PLTU batubara perlu ada tiga hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, keandalan pasokan listrik tidak terganggu. Kedua, apabila sebuah PLTU diakhiri maka berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Ketiga, apabila sebuah PLTU dipensiunkan maka terdapat kapasitas penggantinya dari energi terbarukan di sistem tersebut.
“Untuk itu, agar biayanya pengakhiran operasional PLTU tidak lebih mahal, usia PLTU yang mencapai 20 tahun bisa menjadi pertimbangan untuk pensiun dini. Selain itu, teknologi PLTU batubara yang masih subcritical di mana intensitas emisi sangat tinggi dan dilakukan di sistem kelistrikan yang pasokan daya listriknya cukup (overcapacity),” tegas Fabby.