TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sebagai menteri baru, Rizal Ramli seharusnya tidak mudah mengeluarkan pernyataan yang bisa membuat gaduh publik. Pasalnya, hal ini seakan menunjukkan kelemahan koordinasi pemerintah yang bisa mengirim sinyal negatif kepada pelaku pasar.
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa terkait tiga pernyataan kontroversial Rizal Ramli.
Fabby mengatakan, ekspektasi pelaku pasar adalah kabinet kerja yang solid dan kebijakan-kebijakan ekonomi yang mampu mengatasi gejolak perekonomian. “Pernyataan Rizal bisa membuat pelaku ekonomi ragu-ragu terhadap kemampuan pemerintah,” kata Fabby, Jumat (14/8/2015).
Menurut Fabby, langkah yang seharusnya dilakukan Rizal menggelar koordinasi melalui rapat dengan sejumlah menteri dibawah koordinasinya, dan koordinasi dengan Menko Perekonomian. Bukan malah melemparkan pernyataan yang menyulut perdebatan antarmenteri.
“Tampar” Presiden
Kemudian, pengamat listrik dan migas ini mengingatkan Rizal Ramli bahwa program pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt adalah program prioritas Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Besarannya pun ditentukan Presiden dan Wapres.
“Sebagai Menko, yang membantu Presiden, Menteri Rizal harusnya ikut dulu dengan keputusan ini,” tegasnya.
Saran terhadap perubahan target, menurut Fabby, tidak bisa gegabah dan mestinya melalui kajian yang mendalam. Misalnya pelambatan ekonomi yang terjadi dan pertumbuhan ekonomi dibawah 7 persen pada tahun ini.
“Dan mungkin masih tetap sama di tahun depan menyebabkan kebutuhan pasokan listrik berubah juga. Tapi memang harus lewat kajian dan dibahas di sidang kabinet dan diputuskan Presiden. Pernyataan Menteri Rizal justru “menampar” muka Presiden.”
Karena itu, dia menyarankan agar Presiden Jokowi mengingatkan lagi kepada Rizal Ramli bahwa dirinya adalah Menteri, pembantu Presiden. Sehingga tidak ada kebijakan atau program menteri. Tapi, yang ada kebijakan dan program Presiden.
“Menteri melakukan program prioritas Presiden, bukan mengkritisi. Pembahasan tentang kelayakan program sebaiknya dibahas dulu secara internal kabinet baru disampaikan hasil dan perubahan kebijakannya kepada publik.”
Sebelumnya, Rizal Ramli mengkritik target pemerintahan Jokowi membangun pembangkit listrik 35.000 megawatt terlalu sulit dicapai. Bahkan, dia menilai bahwa proyek yang dicanangkan Jokowi hinga 2019 itu tak masuk akal.
“Saya akan minta Menteri ESDM dan DEN (Dewan Energi Nasional) untuk lakukan evaluasi ulang mana yang betul-betul masuk akal. Jangan kasih target terlalu tinggi tapi capainya susah, supaya kita realistis,” ujar Rizal Ramli di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Kamis (13/8/2015).
Sumber: tribunnews.com.