Skip to content

Pengusaha Pusat Belanja Tolak “Capping”

Author :

Authors

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah asosiasi pengusaha menolak rencana pembatalan kebijakan pencabutan kenaikan maksimal tarif dasar listrik atau capping 18 persen bagi pelanggan bisnis dan industri. Sebab, hal ini dinilai akan berdampak buruk bagi iklim investasi dan melanggengkan iklim persaingan usaha yang tidak sehat.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia Ellen Hidayat, Jumat (21/1/2011) di Jakarta, mengatakan, pihaknya setuju dengan penghapusan capping itu. Sebelumnya, asosiasi pelaku usaha itu telah beberapa kali menyatakan keberatan atas penerapan capping kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) ataupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia A Stefanus Ridwan menjelaskan, penerapan capping menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Satu pelanggan dapat modal rendah, yang lain tinggi, bisa 1,5 kali lipat. Ini membuat harga jual tidak bersaing karena biaya operasional lebih tinggi, apalagi yang terkena adalah usaha baru. Ini akan mematikan orang untuk berinvestasi.

Meski tarif multiguna dan daya maksimum dihapus, menurut Ellen, dengan adanya capping 18 persen yang diberlakukan pada Agustus 2010, sejumlah pengelola pusat belanja belum menikmati tarif listrik sesuai harga yang berlaku umum.

“Kami menginginkan ada kesetaraan. Kalaupun harus naik, seharusnya sama tarifnya,” ujarnya.

Saat ini sedikitnya 12 pusat belanja tidak menikmati capping. Mereka adalah pengelola pusat belanja yang baru berdiri setelah tahun 2005. “Bagaimana mal-mal itu bisa bersaing jika tarif listriknya lebih mahal daripada mal yang sudah lebih dulu ada. Ini menyebabkan tarif sewa lahan di mal baru jadi lebih mahal,” kata Ellen.

Sebagai perbandingan, pelanggan bisnis dengan daya terpasang 10.380 kilovolt Ampere dengan tarif bisnis. Pelanggan baru terkena tarif di luar waktu beban puncak (LWBP) Rp 850 per kWh, dan waktu beban puncak (WBP) Rp 3.400 per kWh. Dengan tarif itu, rata-rata rekening listrik yang dibayar Rp 5,44 miliar. Pelanggan lama terkena tarif LWBP Rp 452 per kWh dan WBP Rp 904 per kWh sehingga rata-rata pembayaran ke PLN hanya Rp 2,89 miliar.

Setelah ada capping TDL 18 persen, rekening pelanggan baru Rp 3,73 miliar, sedangkan pelanggan lama tetap Rp 2,89 miliar.

“Dengan tanpa ada capping, tarif listrik untuk semua pelaku usaha disamakan sehingga sejak November lalu tarif listrik untuk pelanggan bisnis sama, yakni Rp 800 per kWh untuk luar waktu beban puncak, dan Rp 1.200 per kWh saat beban puncak,” kata dia.

Presiden Direktur PT Jababeka Tbk, pengelola kawasan industri Jababeka, SD Darmono menyayangkan mencuatnya kontroversi seputar pencabutan capping oleh PLN. Hal ini merugikan bagi iklim investasi di Indonesia. “Para calon investor akan mempertanyakan mengenai adanya capping dan disparitas harga ini,” ujarnya menegaskan.

Pada kesempatan terpisah, pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa menyatakan setuju capping dicabut. Kalau ada revisi kebijakan, seharusnya dibahas dan konsekuensinya dikaji pada tarif dan subsidi. Dengan mempertahankan capping, pemerintah justru tidak menjadi konsisten.

sumber: megapolitan.kompas.com.

Share on :

Comments are closed for this article!

Related Article

IESR-Secondary-logo

Dengan mengirimkan formulir ini, Anda telah setuju untuk menerima komunikasi elektronik tentang berita, acara, dan informasi terkini dari IESR. Anda dapat mencabut persetujuan dan berhenti berlangganan buletin ini kapan saja dengan mengklik tautan berhenti berlangganan yang disertakan di email dari kami. 

Newsletter