Jakarta, 26 Oktober 2023 – Transisi energi yang sedang digaungkan saat ini akan berpengaruh signifikan pada penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara. Berbagai negara telah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sebagai salah satu aksi kunci transisi energinya. Hal ini perlu diwaspadai oleh negara-negara penghasil fosil seperti Indonesia, karena akan ada penurunan permintaan dari pasar global.
Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur merupakan daerah penghasil batubara terbesar di Indonesia. Batubara telah menjadi komponen pokok dalam pertumbuhan ekonomi kedua provinsi. Pada tahun 2022, batubara menyumbang 30-35% pada PDRB Kalimantan Timur dan 15% di Sumatera Selatan. kedua provinsi ini membutuhkan strategi khusus untuk melepaskan ketergantungan ekonomi dari batubara. Stefan Boessner, peneliti Stockholm Environmental Institute (SEI) dalam “Lokakarya Nasional Transisi yang Adil: Membangun Kapasitas Pemerintah untuk Transisi Batubara Berkelanjutan di Indonesia” mengatakan bahwa alternatif ekonomi tersedia dan dapat dikembangkan.
“Telah terdapat contoh suatu daerah berhasil mendiversifikasi perekonomiannya. Pemerintah akan membutuhkan dukungan peningkatan kapasitas dari pemerintah pusat,” katanya.
Stefan menambahkan Pemerintah Indonesia telah memulai membuat kerangka kebijakan yang menjadi dasar hukum dari transisi energi di Indonesia seperti target net zero emission, peraturan nilai ekonomi karbon, serta roadmap pensiun dini PLTU batubara.
Dalam mempersiapkan transisi ini, perencanaan pembangunan, ekonomi, dan energi menjadi sangat penting. Keterlibatan berbagai elemen yang akan terdampak dalam transisi menjadi penting.
Martha Jessica, Analis Sosial dan Ekonomi Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan salah satu temuan awal studi yang saat ini sedang dilakukan IESR yaitu terdapat kesenjangan kapasitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga perencanaan transisi ini dirasa belum optimal.
“Untuk menghasilkan proses perencanaan dibutuhkan berbagai kapasitas yang unggul/memadai oleh pemerintah sebagai inisiator (pelaku awal) dan katalis dari transisi energi,” kata Martha.
Elisa Arond, peneliti SEI menambahkan bahwa pemerintah daerah dapat mengambil peran krusial untuk mendukung agenda transisi yang berkeadilan. Untuk melakukan semua ini tentu pemerintah daerah akan membutuhkan sejumlah dukungan dari pemerintah pusat.
“Mereka (pemerintah daerah-red) membutuhkan dukungan keuangan baik dari pemerintah pusat maupun institusi internasional, dialog inklusi yang melibatkan aktor dengan latar belakang beragam, strategi pendanaan, dan akses informasi yang transparan tentang rencana penutupan tambang,” jelas Elisa.
Tavip Rubiyanto, Analis Kebijakan Ahli Madya selaku Koordinator ESDM, Ditjen Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri menjelaskan mengapa saat ini transisi energi terasa belum berjalan di daerah karena masih terbatasnya kewenangan daerah.
“Untuk itu, Kemendagri sudah menginisiasi penyusunan Perpres No. 11 Tahun 2023 untuk menguatkan kewenangan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintah di bidang ESDM, khususnya di sub-bidang energi terbarukan,” katanya.
Brilian Faisal, perwakilan Bappeda Provinsi Sumatera Selatan menyambung dengan harapan bahwa konsep transisi energi berkeadilan harus berkaitan dengan akses dan infrastruktur.
“Di daerah kami juga belum membuat produk turunan dari berbagai aturan terkait transisi energi ini karena untuk membuatnya kami perlu merevisi RUED, secara kewenangan banyak kewenangan ada di bidang ESDM,” kata Brilian.
Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR menyatakan bahwa lokakarya ini merupakan momen yang tepat sebagai persiapan penyusunan RPJMN dan RPJMD yang harus memuat agenda transisi batubara ini.
“Transisi ini membutuhkan beberapa hal seperti perencanaan dan pendanaan dan harus masuk dalam agenda pembangunan daerah supaya bisa mendapat pendanaan dari pemerintah,” kata Wira.