Penugasan Blok Terminasi ke Pertamina Perlu Dikaji Ulang

Jakarta-iNEws. Penugasan yang diberikan pemerintah kepada PT Pertamina (Persero) untuk mengelola blok minyak dan gas bumi (migas) yang habis masa kontraknya dinilai perlu dikaji ulang. Pasalnya, keputusan untuk melibatkan Pertamina sebagai operator blok terminasi akan merugikan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) sebelumnya, sekaligus berpotensi memberatkan BUMN migas itu sendiri.

Anggota Komisi VII DPR Kardaya Warnika menilai, ada yang salah dengan mekanisme penugasan Pertamina sebagai operator blok terminasi. Hal tersebut menurutnya akan mengganggu iklim investasi di sektor hulu migas. Terlebih Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM melansir akan ada 26 blok migas yang akan habis kontraknya mulai tahun ini sampai 2026 mendatang.

Contoh terbaru adalah hilangnya nama China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dan PT Saka Energi Indonesia dalam daftar pemegang hak partisipasi (PI) anyar blok Southeast Sumatra (SES) yang akan habis kontraknya tahun ini.

“Mundurnya CNOOC karena mereka tidak tertarik untuk menjalin kerja sama dengan Pertamina. Selain itu, ada dua penyebab lain seperti kapasitas minyak yang sudah habis dan iklim investasi yang tidak menarik,” kata Kardaya, Sabtu (7/4/2018).

Dia melihat, iklim investasi migas di Indonesia semakin tidak kondusif dengan ditetapkannya Pertamina secara otomatis sebagai operator blok migas terminasi. Pasalnya, KKKS memerlukan kepastian hukum sebelum memutuskan untuk menanamkan investasi berjumlah besar yang baru akan balik modal dalam jangka panjang.

“Ini masih menjadi masalah ditambah lagi revisi Undang-Undang (UU) Migas masih belum jelas, akibatnya investor menunggu dan bisa beralih ketempat lain,” kata dia.

Kardaya menambahkan, penunjukkan Pertamina sebagai operator blok terminasi juga berpotensi merugikan BUMN tersebut. “Kalau ternyata gagal mengelola blok tersebut, tentu akan mengganggu kinerja perseroan. Seharusnya mereka bisa menolak dan melakukan kajian dulu jika ditawarkan sebagai operator. Tapi kan sebagai BUMN, Pertamina mau tidak mau harus menerima perintah dari pemerintah,” tutur dia.

Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa meminta pemerintah untuk mengkaji kembali efektivitas kebijakan yang baru dibuatnya tersebut. “Tujuan awal menjadikan Pertamina operator blok terminasi kan agar ada produksi yang konstan. Produksi seperti ini tentu harus dibarengi dengan injeksi kapital. Kalau blok itu tidak ekonomis lalu dibebankan semuanya ke Pertamina, maka kapital dia bisa habis,” kata Fabby.

Ia juga mengatakan, tidak bisa dipastikan Pertamina bisa menjaga tingkat produksi blok migas yang dialihkan hak operatornya. “Jangan menjadi negara yang semuanya ingin dikerjakan oleh BUMN. Investasi swasta juga perlu, tujuannya untuk membagi risiko karena industri migas ini high risk, high capital, jadi jangan semua risikonya dikasih ke Pertamina,” kata Fabby.

Sumber : inews.id

Share on :