Jakarta, 28 Mei 2025 – Indonesia memiliki target pengurangan emisi sektor energi dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) sebesar 358 juta ton setara karbon dioksida dengan usaha sendiri pada tahun 2030. Penggunaan energi terbarukan, khususnya surya menjadi salah satu strategi untuk memenuhi target iklim Indonesia terutama dari sektor energi. Pengembangan PLTS skala utilitas memerlukan lahan yang besar dan kerapkali hal ini menjadi tantangan dalam pengembangan PLTS.
Indonesia telah berhasil melakukan kombinasi PLTS terapung pada PLTS terapung Cirata berkapasitas 145 MW. Kementerian ESDM telah merilis data potensi PLTS terapung di waduk dan bendungan Indonesia sebesar 14 GW. Dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025 – 2034 menunjukkan akan ada penambahan 17,1 GW energi surya.
Deon Arinaldo, Manajer Program Sistem Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Webinar Surya Mengapung Wujudkan Transisi Indonesia: Keekonomian Keandalan PLTS Terapung dan Sistem Penyimpanan Energi, menyatakan bahwa tantangan pengembangan ekosistem PLTS terapung akan berada pada 5 GW pertama.
“Ketika kita sudah melampaui 5 GW, hal ini berarti kita sudah memiliki kerangka kebijakan yang matang (mature) dan pasar sudah dapat menerima mekanismenya,” kata Deon.
Arionmaro Asi Simaremare, Manajer Transisi Energi PLN, mengatakan bahwa target penambahan energi surya pada RUPTL sebesar 17,1 GW bisa jadi dipenuhi dari PLTS terapung.
“Saat ini terdapat beberapa proyek (PLTS terapung) yang sedang disiapkan antara lain Saguling, Karangkates, Jatiluhur, dan Kedung Ombo. Tidak menutup kemungkinan akan bertambah,” katanya.
Arionmaro menambahkan pihaknya saat ini fokus pada bendungan milik PLN, menimbang kelengkapan data profil bendungan seperti batimetri, sempedan, dan fluktuasi muka air bendungan. Hal ini mempermudah pengerjaan PLTS terapung di bendungan milik PLN selain masalah perizinan.
Ditambahkannya, pihak kementerian PUPR pun telah mengirimkan daftar badan air milik Kementerian PUPR yang dapat digunakan sebagai lokasi PLTS terapung, namun masih perlu dilakukan pengecekan terkait perizinan lokal, peruntukan bendungan, kondisi sosial masyarakat.
David Silalahi, PhD Graduate, The Australian National University, menjelaskan bahwa sistem PLTS terapung merupakan opsi yang patut untuk didalami untuk konteks Indonesia mengingat letak geografis dan kebutuhan energi yang terus tumbuh ke depan. Hal ini salah satunya didasari oleh perbandingan keekonomian untuk harga pembangkitan listrik energi surya dan fosil telah kompetitif, dengan perhitungan harga batubara global.
“Dengan asumsi harga batubara ajeg (stabil-red) USD 100 per ton, harga (listrik) PLTS sudah kompetitif, pada kisaran 5-6 sen per kWh,” kata David.
Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR menjelaskan bahwa dalam 2-3 tahun terakhir PLTS terapung lebih diminati oleh pengembang karena beberapa hal antara lain lokasi bendungan atau badan air yang berpotensi menjadi lokasi PLTS terapung kebanyakan terletak di pulau Jawa yang menjadi pusat beban dan permintaan listrik.
“Untuk mendorong PLTS terapung lebih masif lagi di Indonesia setidaknya kita perlu memperbaiki dua hal, yakni terkait tata kelola (governance) dari proyek PLTS terapung dan secara teknis terkait dengan sistem operasi yang perlu penyesuaian,” jelas Alvin.