Jakarta, 31 Juli 2024 – Fenomena krisis iklim yang semakin masif membuat kondisi bumi semakin rentan terhadap berbagai ancaman yang berisiko bagi kehidupan manusia. Mulai dari meningkatnya intensitas bencana alam hingga penularan wabah penyakit, semua ini adalah bukti nyata bahwa krisis iklim memiliki dampak yang sangat luas dan serius. Sayangnya, berbagai persoalan tersebut belum sepenuhnya tertangani, sehingga menimbulkan kekhawatiran yang besar bagi generasi mendatang.
Wira A. Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, di tengah krisis iklim yang terjadi, peran lembaga masyarakat sipil (non-governmental organization, NGO) menjadi sangat penting untuk menyuarakan aksi iklim dan mendorong transisi energi. Sebagai salah satu NGO yang aktif di isu krisis iklim, IESR berfokus pada upaya dekarbonisasi, terutama di sektor energi, dengan mendorong terbentuknya sistem pendukung yang mampu membuat peraturan, kebijakan, dan aksi-aksi yang berkaitan dengan dekarbonisasi.
“Dalam menjalankan misinya, IESR tidak terlibat dalam sistem politik secara langsung. Kami lebih memilih untuk memberikan masukan berbasis riset, data, dan bukti, sehingga dapat memberikan pandangan yang lebih objektif dan berimbang. Selain itu, potensi ekonomi hijau di Indonesia turut menjadi fokus perhatian. Analisis kami menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak potensi untuk meningkatkan performanya, misalnya dengan upaya pembangunan yang berkelanjutan di berbagai pendekatan termasuk dalam hal energi,” papar Wira dalam acara yang diselenggarakan Zona EBT pada Senin (29/7/2024).
Menurut Wira, energi menjadi penting karena pertumbuhan produk domestik bruto (gross domestic product, GDP) Indonesia sejalan dengan penggunaan energi untuk industri yang lebih tinggi lagi. Sehingga, perlu adanya upaya untuk membuat sistem ekonomi berkelanjutan dalam energi, misalnya dengan mengurangi ketergantungan industri pada bahan bakar fosil, seperti batubara.
“Pengurangan penggunaan energi fosil juga menjadi penting dalam mencapai net zero emissions 2060 atau lebih cepat. Dalam mendorong langkah tersebut, kebijakan yang menyeluruh dan komprehensif sangat diperlukan. Kebijakan tersebut harus diajukan sebagai acuan bagi berbagai pihak, termasuk untuk pembiayaan. Selain itu, penting juga untuk menciptakan ruang dialog multipihak dalam kebijakan iklim, karena banyak pihak yang terlibat dan terdampak oleh isu perubahan iklim. Dengan pendekatan yang inklusif dan kolaboratif, diharapkan upaya mitigasi perubahan iklim dan transisi energi di Indonesia dapat berjalan lebih efektif dan memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat,” ujar Wira.
krisis iklim, transisi energi, NGO, IESR, dekarbonisasi, energi hijau, Indonesia, net zero emissions