Investor Daily – Sejumlah pengamat energi dan akademisi menilai meski peraturan kelistrikan berubah, dimana peran PLN ditingkatkan dalam mengoptimalkan pembangunan pembangkit listrik di Tanah Air, peran pihak swasta juga masih sangat diperlukan guna mendukung investasi yang dibutuhkan.
Pemerintah telah merevisi Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenaga listrikan melalui Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2017 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo 13 Februari 2017. Dalam perubahan itu, peran BUMN kelistrikan, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), ditambah untuk mengoptimalisasi pembangunan pembangkit listrik di Tanah Air.
Pemerintah memandang perlu dilakukan penyempurnaan terhadap pengaturan mengenai pelaksanaan pembiayaan, skema kerja sama penyediaan pembangunan infrastruktur ketenaga listrikan, kerja sama pemanfaatan aset, dan pengelolaan lingkungan hidup.
Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, meski peran PLN ditambah, perusahaan pelat merah itu tidak bisa bekerja sendirian.
Keterlibatan pihak swasta menjadi kunci penting mewujudkan program-program penyediaan listrik dari pemerintah, contohnya seperti proyek 35 ribu megawatt (MW). Apalagi patut disadari, tidak sedikit investasi dibutuhkan untuk membangun pembangkit dan infrastruktur kelistrikan lainnya.
“Itu investasi sampai US$ 120 miliar, tentunya swasta paling tidak dibutuhkan. Separuh dari total investasi itu kan diharapkan dari swasta, US$ 50 miliar sampai US$ 60 miliar,” ujar Fab-by kepada wartawan, pekan lalu.
Menurut dia, ada skema kerjasama yang bisa dilakukan PLN melalui anak perusahaannya untuk mengoptimalisasi peran swasta. Tidak seperti dulu dengan sistem menyewa pembangkit, aturan ini mewajibkan perusahaan pelat merah itu untuk membeli listrik atau membangun infrastruktur bersama swasta. Khusus untuk pembangunan bersama swasta, PLN harus memiliki saham dominan atau paling tidak 51%, sebagai pengendali.
Meski ada opsi-opsi baru itu, Fabby menuturkan bahwa kapital yang akan dikeluarkan PLN akan semakin besar. “Bayangkan saja, bagaimana BUMN membangun perusahaan dan di tiap perusahaan harus memiliki saham minimal 51%. Keuangan negara untuk sektor energi pasti akan sangat terkuras jika menggunakan skema itu. Jadi kalau misalkan nilainya US$ 1 miliar, ya PLN harus menyediakan 51%,” imbuh Fabby.
Secara terpisah, Peneliti Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi mendukung pernyataan Fabby terkait pentingnya peran swasta membangun ketersediaan listrik di Tanah Air. Pasalnya, selama ini PLN terkesan tidak kooperatif dengan swasta, sementara BUMN itu juga memiliki keterbatasan finansial dalam menyediakan listrik sesuai target.
Hal itu dibuktikan dengan banyaknya daerah-daerah khususnya di luar Pulau Jawa yang defisit pasokan listrik. Padahal, menurut Ali, banyak perusahaan listrik swasta (independent Power producer/l??) yang bisa diberdayakan guna mencapai target pembangunan listrik.
PLN tinggal mengikuti pakem sebagai single buyer dan multi supplier, PLN sebagai pembeli tunggal dan penyedia listrik bagi masyarakat Prinsipnya, pemerintah harus mendesain aturan untuk menentukan batas harga listrik yang akan dibeli.
“Harus ada regulasi yang bisa mengakomodasi penjualan listrik ke PLN, atau regulasi yang mengatur soal harga,” sebut Ali.
Selain itu, dia menambahkan banyak pembangkit listrik swasta di kawasan-kawasan industri di Tanah Air yang bisa dioptimalkan perannya dalam menyuplai pasokan listrik. Menurut Ali, memang kemampuan listrik mereka tak seberapa apalagi harus mengandalkan kelebihan tenaga, baru bisa dijual ke PLN.
Namun, jika PLN konsisten mengumpulkan kelebihan listrik itu, program penyediaan listrik pasti bisa dicapai dengan mudah. “Pembangkit listrik swasta itu kalau didata kecil-kecil, tapi kalau dikumpulkan itu bisa jadi besar,” demikian Ali. (es)
Sumber: Investor Daily.