Energi merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, sama seperti sandang, pangan dan papan. Bahkan energi merupakan prasyarat utama untuk mencapai kesejahteraan. Menyadari pentingnya peranan energi, pemerintah Indonesia menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan akses energi, seperti diatur dalam UU Energi No.30/2007 yang menyatakan bahwa setiap warga negara dapat berperan serta dalam perencanaan pengelolaan energi, baik di tingkat nasional ataupun tingkat daerah.
Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Maret 2017 telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 21/2017 mengenai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menjabarkan mengenai rencana pengelolaan energi di tingkat nasional dan bersifat lintas sektor untuk mencapai sasaran Kebijakan Energi Nasional. Dengan keluarnya Perpres ini mka Paling lambat satu tahun setelah diterbitkannya RUEN, pemerintah provinsi wajib menerbitkan Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Namun sayangnya hingga Januari 2018, baru Provinsi Nusa Tenggara Barat yang telah menyusun rancangan Perda terkait RUED.
Untuk meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat-khususnya kelompok perempuan- dalam perencanan energi di Halmahera Tengah, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) salah satu mitra Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy -menyelenggarakan pertemuan jejaring lokal yang membahas topik tentang “Mendorong Pelibatan Perempuan dalam Kebijakan Energi Bersih Terbarukan” yang berlangsung di Aula Kantor Bupati Halmahera Tengah tanggal 23 Januari 2018 . Acara ini dihadiri oleh 90 peserta yang mewakili anggota Balai Perempuan, Satuan Kerja Perangkat Daerah Halmahera Tengah (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Darma Wanita dll) serta elemen masyarakat (polisi dan perwakilan LSM di Halmahera Tengah).
Dalam sambutan tertulisnya Bupati Halmahera Tengah Edi Langkara menyampaikan mengenai pentingnya perencanaan energi untuk menunjang kegiatan ekonomi dan industri di Provinsi Maluku Utara di masa depan. Penyusunan RUED provinsi ini juga akan menjadi salah satu acuan dalam mendorong peningkatan rasio elektrifikasi di Kabupaten Halmahera Tengah yang saat ini baru mencapai 51,45% , angka ini jauh tertinggal dari rasio elektrifikasi provinsi yang telah mencapai 72,61%.
“Kabupaten Halmahera sendiri siap untuk berperan aktif untuk mendorong Provinsi Maluku Utara untuk melanjutkan proses penyusunan RUED provinsi. Saat ini Kabupatan Halmahera Tengah sudah memiliki perencanaan penyediaan energi yang dituangkan dalam Peraturan Daerah No. 1/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2012-2030” ujar Edi.
Dia juga menyampaikan mengenai besarnya potensi energi terbarukan yang tersedia di kabupaten namun belum banyak dikembangkan bagi pemenuhan kebutuhan energi di daerah
Hingga akhir tahun 2017, penyusunan RUED Provinsi Maluku Utara masih pada tahap pengumpulan data dan belum mulai melakukan pemodelan dalam kaitannya dengan rencana pengelolaan energi tingkat provinsi.
Dalam kesempatan ini, peneliti dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Erina Mursanti menyoroti mengenai dua aspek penting dalam perencanaan energi, Pertama, mengenai kerangka regulasi yang tersedia di daerah untuk mendorong RUED Provinsi Maluku Utara. Kedua, mengenai posisi energi terbarukan yang tercantum di dalam dokumen nasional seperti rencana pembangunan nasional dan rencana umum energi nasional.
Dalam pemaparannya Erina menjelaskan bahwa perencanaan energi tidak dapat dipisahkan dengan perencanaan pembangunan, baik dalam konteks daerah maupun nasional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN 2015-2019 serta UU Energi No. 30/2007 dan UU Ketenagalistrikan No. 30/2009 merupakan referensi dari perencanaan energi daerah (yang tertuang dalam Rencana Umum Energi Daerah/RUED ataupun Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah/RUKD).
Dengan adanya kerangka regulasi tersebut maka konsekwensi logisnya adalah pemerintah daerah wajib menyusun RUED dengan mengacu pada RUEN. Satu tahun setelah ditetapkan RUEN, maka pemerintah daerah wajib menyusun dan menetapak RUED dengan mengacu pada RUEN dan pelaksanannya dilakukan melalui koordinasi perencanaan energi lintas sektor.
Ditambahkan oleh Erina bahwa peningkatan pemanfaatan energi terbarukan serta peningkatan rasio elektrifikasi menjadi dua isu utama yang hadir dalam program pembangunan pemerintah, yaitu Nawacita Bidang Energi dan RPJMN Bidang Energi. Sebagai dokumen masterplan perencanaan energi nasional, RUEN mencantumkan target pemanfaatan energi terbarukan pada 2025 yaitu sebesar 23% dari total energi primer dengan kapasitas sebesar 45 GW listrik dan 13,69 juta KL biofuel, 8,4 juta ton biomassa dan 489,8 juta m3 biogas untuk non listrik.
Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Widjanarka membahas mengenai UU Perlindungan Konsumen No. 08/1999 yang memberikan hak kepada setiap warga negara sebagai konsumen energi. Secara spesifik dalam pasal 4 UU ini menyatakan bahwa konsumen mempunyai hak atas:
- Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan;
- Hak atas informasi yang jelas, benar dan jujur;
- Hak untuk memilih;
- Hak untuk didengar keluhan dan pendapatnya;
- Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pembinaan;
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur dan tidak diskriminatif;
- Hak untuk mendapatkan advokasi, pembelaan dan penyelesaian konsumen secara patut;
- Hak untuk mendapatkan ganti rugi dan kompensasi;
Namun meskipun begitu, belum ada Standard Pelayanan Minimum/SPM atas produk barang dan jasa, sementara kewajiban konsumen sudah terpenuhi. Untuk itulah maka UU Perlindungan Konsumen perlu dilengkapi dengan peraturan turunan yang mengatur kewajiban bagi perusahaan untuk menerbitkan SPM terutama bagi komoditas publik seperti energi. Beberapa BUMN seperti PLN, Pertamina, Angkasa Pura, saat ini sudah menginisiasi adanya SPM dalam proses bisnis mereka.
“Lemahnya perlindungan bagi konsumen energi salah satunya karena UU Perlindungan Konsumen No. 08/1999 karena sifatnya yang transactional dan masih belum memiliki banyak peraturan turunannya. Padahal suatu UU dapat sepenuhnya dijalankan dengan peraturan-peraturan turunan yang dapat menjabarkan implementasi teknis dari UU tersebut. Kendala lainnya adalah energi seharusnya masuk dalam gagasan The Essential Commodities Act[1] guna menjembatani semangat Pasal 33 UUD dengan UU Perlindungan Konsumen.”jelas Widjanarka.
Menurutnya Kepulauan Halmahera kaya akan potensi energi terbarukan yang belum termanfaatkan dengan baik. Hanya dengan komitmen pemerintah yang kuat dengan disertai oleh dukungan seluruh masyarakat, maka potensi ini dapat dikembangkan sehingga kedaulatan energi serta pemerataan akses energi untuk seluruh daerah di Indonesia akan tercapai.
Terkait dengan peran perempuan dalam perencana energi, Dian Kartikasari Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menjelaskan bahwa perempuan merupakankonsumen akhir dari pemakaian energi di rumah tangga. Kebutuhan untuk melakukan reproduksi, produksi serta mendapatkan keamanan merupakan berbagai contoh dari kebutuhan perempuan terhadap energi yang selama ini tidak disadari oleh banyak perempuan. Meskipun begitu, berbagai tantangan yang dihadapi perempuan dalam pemenuhan kebutuhan mereka terhadap energi datang dari berbagai aspek.
“Aspek pertama adalah aspek sumber daya manusia, yaitu minimnya informasi yang dapat perempuan miliki dan disertai dengan minimnya akses data yang dapat perempuan peroleh menyebabkan perempuan tidak dapat menyuarakan kebutuhannya sehingga mereka tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Aspek kedua adalah dari tataran kebijakan dimana pemerintah belum mengimplementasikan kebijakan yang menjamin persamaan hak atas energi bagi setiap warga negara (baik laki-laki maupun perempuan). Di sisi lain, warga negara tidak memahami adanya kebijakan yang menjamin hak-hak tersebut, sehingga tidak ada kontrol sosial dari warga negara dalam mendorong pemerintah menjalankan kebijakan tersebut. Aspek ketiga adalah dari pemerintah yaitu rendahnya komitmen pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran untuk energi terbarukan; program elektrifikasi nasional dari pemerintah pusat yang tidak berjalan secara masif; serta Dewan Energi Nasional yang belum berperan aktif untuk memperluas akses perempuan miskin terhadap energi.” jelas Dian.
Dalam acara ini juga disampakan hasil riset aksi “Gender and energy” yang dilakukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia di 4 desa di Halmahera Tengah pada April-Agustus 2017. Farida Indriani, peneliti KPI menjelaskan riset ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran perempuan tentang pentingnya energi sehingga mereka dapat terlibat lebih jauh dalam mengatasi persoalan energi. Terdapat dua temuan penting dari riset ini yaitu, pemadaman listrik yang berlangsung selama 560-600 jam setiap bulan dan minimnya akses perempuan terhadap informasi energi khususnya listrik.
Di akhir acara para peserta juga mengadakan diskusi mengadakan diskusi mendalam dengan beberapa kesimpula berikut :
- Pada dasarnya pemerintah daerah mengakui bahwa ada keterbatasan pelayanan di sektor energi. Namun hal ini sebagai akibat dari letak geografis Halmahera Tengah serta keterbatasan anggaran yang mereka miliki. Hal ini pula yang membuat Halmahera Tengah masih sulit mengembangkan sumber energi terbarukannya sehingga pasokan listrik hingga saat ini masih bergantung pada diesel dan batubara.
- Peluang masyarakat terutama perempuan untuk ikut serta dalam perencanaan energi Halmahera Tengah terbuka lebar karena RUED Maluku Utara belum disahkan. Untuk ini, perempuan dapat terlibat aktif dalam advokasi kebijakan di tingkat desa.
- Selain advokasi kebijakan, perempuan pun membutuhkan pelatihan teknologi tepat guna dalam kaitannya dengan pemanfaatan energi terbarukan (seperti biogas, tungku biomassa hemat energi, ataupun Solar Home Syestem/SHS). Namun tentu saja disadari bahwa pelatihan ini membutuhkan komitmen yang kuat serta pendanaan yang relatif besar.
- Meskipun begitu, seharusnya keterbatasan pendanaan tidak menjadi halangan ketika individu rumah tangga ingin menerapkan teknologi energi terbarukan. Dengan komitmen kuat dari masyarakat, sistem gotong royong, masyarakat dapat mewujudkan pemanfaatan teknologi energi terbarukan tepat guna.
Secara umum, pemanfaatan energi terbarukan untuk listrik dapat dilakukan dengan tiga cara: 1) dimulai dari MUSREMBANGDES yang melakukan identifikasi potensi sumber energi terbarukan untuk listrik, kebutuhan atau permintaah listrik ada dimana saja dan seberapa banyak, lalu apa pasar yang akan terbentuk dari komoditas baru yang akan ada setelah listrik dipasang; 2) hitung berapa kira-kira pendanaan yang dibutuhkan; 3) lalu masukkan ke pemerintah nasional untuk meminta anggarannya (melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dimana Dinas ini dapat memasukkan ke pemerintah pusat dengan tagging pemberdayaan perempuan atau melalui Dana Alokasi Khusus untuk bidang energi terbarukan).
[1] The Essential Commodities Act adalah suatu UU yang dapat mengakomodasi pengawasan untuk kegiatan produksi, penyediaan dan distribusi dari rantai perdagangan suatu komoditas tertentu supaya rantai perdagangan ini tidak merugikan kepentingan publik.