Dianugerahi potensi energi surya yang mencapai 20.000 GW, pemanfaatan energi surya dalam skala utilitas atau skala besar masih sangat kecil di Indonesia. Tercatat hingga tahun 2020, jumlah kapasitas terpasang energi surya sebesar 186 MW. Terkhusus untuk PLTS skala utilitas, jumlah lelang yang terjadi selama ini masih bersifat sporadis dan belum terstruktur. Agar akselerasi energi surya semakin masif, diperlukan perencanaan yang lebih terstruktur dan komprehensif untuk memastikan ketersediaan proyek. Reformasi kebijakan ini tentu menuntut adanya komitmen dan kepemimpinan politik yang kuat dari pemerintah saat ini.
Ikut menandatangani dan meratifikasi Persetujuan Paris, Indonesia memiliki target untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Sayangnya, hingga saat ini capaian bauran energi baru mencapai sekitar 12%. Dalam jangka waktu pendek ini, Indonesia harus menambah kapasitas energi terbarukannya. Diungkapkan Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Aneka EBT dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM dalam webinar peluncuran laporan “Hitting Record-Low Solar Electricity Prices in Indonesia” bahwa dibutuhkan usaha paling tidak 4 kali lipat untuk mencapai target bauran energi 23%.
“Saat ini kita sedang berusaha mencapai target 23%. Dari sektor kelistrikan kita sedang menyusun RUPTL yang baru yang mengakomodasi porsi EBT yang lebih besar, angkanya sampai 51%,” jelas Dadan.
Cita Dewi, Executive Vice President Divisi Energi Baru dan Terbarukan PT PLN, menyambung bahwa kehadiran dan kontribusi PLTS menjadi salah satu pilihan utama untuk peningkatan EBT ke depan di samping hydro.
“Kami senang sekali melihat perkembangan (teknologi PLTS) saat ini, khususnya untuk sisi intermitensi yang semakin berkurang. Dampaknya semakin bersaing dan tarifnya cenderung turun. Baik negara dan PLN bisa mendapatkan keuntungan,” tuturnya.
Arah komitmen pemerintah yang semakin mantap untuk mengakselerasi energi terbarukan merupakan suatu pertanda baik. Namun, menimbang kondisi Indonesia saat ini yang harus mengejar target kapasitas terpasang energi terbarukan dalam waktu singkat, perlu strategi khusus demi terciptanya ekosistem surya yang dewasa.
Daniel Kurniawan, peneliti spesialis fotovoltaik sekaligus penulis laporan ini memaparkan penyebab PLTS IPP perkembangannya kurang pesat di Indonesia salah satunya karena perencanaan sistem ketenagalistrikan yang kurang ambisius untuk memasukkan PLTS di dalamnya.
“Lelang PLTS selama ini kami lihat masih bersifat sporadis, atau beli putus, dan tidak memiliki skala besar untuk memaksimalkan manfaat keekonomian. Dalam hal ini penetapan target lelang dalam misalnya 5 tahun ke depan penting. Pemerintah dapat membantu dengan membuat studi kelayakan atau pembebasan lahan,” tuturnya.
Aturan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) masih menjadi hambatan untuk akselerasi industri surya di Indonesia karena harga panel produksi dalam negeri lebih mahal, namun efisiensinya lebih rendah. Pengusaha pun agak kesulitan untuk mendapat bantuan modal internasional karena secara kualitas panel buatan dalam negeri ini belum teruji kualitasnya. Untuk menangani isu ini, pemerintah perlu mempertimbangkan pemisahan lelang TKDN dan non-TKDN sesuai kesiapan industri lokal.
Melina Gabriella, Staff Program Transformasi Energi IESR, yang juga ikut menulis laporan ini menambahkan bahwa untuk mencapai harga listrik PLTS yang terjangkau Indonesia dapat belajar dari negara-negara dengan harga lelang PLTS murah seperti Brazil, India, dan Uni Emirat Arab.
“Beberapa pembelajaran yang bisa kita ambil dari negara-negara tersebut antara lain komitmen dan kepemimpinan yang kuat dari pemerintah yang diturunkan dalam produk kebijakan misal standar kualifikasi dan PPA, serta transparansi proses dan kejelasan aturan. Pembentukan satu lembaga khusus untuk mengurusi proses lelang perlu juga dipertimbangkan. Selain itu pemerintah Indonesia juga perlu meninjau kembali peraturan pendukung seperti TKDN dan kebijakan penetapan tarif,” jelas Melina.
Integrasi surya pada program penyediaan listrik nasional menjadi kunci pengembangan energi surya. Maka perencanaan lelang yang terstruktur dan terukur serta komprehensif perlu dilakukan oleh pemerintah. Target nasional untuk energi surya perlu ditetapkan dan dibuat strategi pencapaiannya.
Gigih Udi Atmo, Koordinator Penyiapan Usaha Ketenagalistrikan, Dirjen Ketenagalistrikan, KESDM, mengapresiasi laporan terbaru dari IESR ini, dan menyatakan saat ini pemerintah sedang fokus untuk mengejar target bauran energi terbarukan 23% pada 2025.
“Kita perlu lihat mengapa kita perlu mengakselerasi surya. Paling tidak ada dua target besar yaitu 2025 bauran EBT 23% dan net-zero emission. Maka konteksnya adalah bagaimana surya dapat berkontribusi untuk tercapainya target-target yang ada,”
Salman Baray, Country Director Indonesia ACWA Power, membagikan pengalamannya mengikuti lelang PLTS di berbagai tempat baik Indonesia maupun luar negeri.
“Sudah banyak investor yang melirik Indonesia untuk dijadikan tempat berinvestasi, namun dari sisi regulasi dan dukungan pemerintah perlu ada perbaikan-perbaikan tertentu. Misalnya, membantu dalam proses lelang lahan, insentif pajak, aturan terkait TKDN, serta kemudahan untuk mendapatkan pendanaan lokal,” Salman menutup penjelasannya.