Jakarta, 11 April 2023 – Kepemimpinan Indonesia pada level internasional terus berlanjut. Setelah dinilai sukses menjadi pemimpin negara-negara G20 pada 2022, tahun 2023 ini Indonesia dipercaya untuk menjadi ketua ASEAN. Sebagai negara dengan jumlah penduduk, ekonomi, dan permintaan energi terbesar di kawasan ASEAN, Indonesia memiliki peran penting dalam berbagai aspek perkembangan kawasan ASEAN.
Salah satu isu prioritas yang dibahas selama Indonesia memegang presidensi G20 adalah transisi energi. Salah satu dokumen panduan transisi energi yang dihasilkan adalah Bali Compact yang memuat prinsip dasar percepatan transisi energi yang akan menjadi panduan dan acuan negara-negara G20 dalam melakukan transisi energi.
Isu transisi energi kembali menjadi isu yang akan dibicarakan selama kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Dengan komitmen ini, Indonesia juga harus mengakselerasi proses transisi energinya. Keberhasilan transisi energi Indonesia dalam melakukan transisi energi dapat mempengaruhi status transisi energi di ASEAN terutama penerimaan negara lain terkait isu transisi energi.
Dalam wawancara untuk program Indonesia Menyapa yang disiarkan oleh RRI Pro 3, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa mengatakan bahwa Indonesia memiliki sejumlah instrumen kebijakan yang dapat dijadikan modal untuk komitmen transisi energinya.
“Indonesia merupakan salah satu negara di ASEAN yang memiliki target net zero emission. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan Perpres 112/2022 yang mengatur tentang percepatan penghentian masa operasi PLTU batubara,” kata Fabby.
Meski memiliki catatan baik pada tingkat policy setting, namun Fabby mengingatkan bahwa dalam hal pengembangan dan penambahan kapasitas terpasang energi terbarukan, Indonesia tertinggal cukup jauh dengan negara ASEAN lain seperti Vietnam dan Filipina.
Fabby menyoroti salah satunya proyek energi terbarukan yang sudah masuk dalam RUPTL PLN 2021-2030 yang pelaksanaannya juga mengalami berbagai kendala.
“Dalam RUPTL PLN seharusnya sepanjang 2021 – 2025 terdapat tambahan energi terbarukan sekitar 10,5 GW, namun pelaksanaannya tidak mulus. Ambillah dalam 5 tahun terakhir, penambahan kapasitas energi terbarukan Indonesia kurang bagus dan kita perlu kerja keras untuk memperbaiki ini,” kata Fabby.
Salah satu penyebab Indonesia belum optimal dalam mengembangkan transisi energinya adalah anggapan bahwa batubara menghasilkan listrik yang murah dan energi terbarukan mahal. Cara pandang ini tersirat saat program 35 GW dicanangkan yang membuat infrastruktur energi fosil menjadi banyak dalam sistem kelistrikan di Indonesia. Ketersediaan infrastruktur energi fosil ini membuat preferensi pemerintah lebih condong ke pemanfaatan energi fosil dalam perencanaan pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia. Hal ini semakin didukung dengan kebijakan pemberian subsidi bagi sejumlah komoditas energi fosil seperti harga DMO (Domestic Market Obligation) batubara.
“Hal yang perlu diperhatikan dari pilihan-pilihan ini adalah dengan mendorong pemanfaatan batubara berarti menutup kesempatan energi terbarukan untuk tumbuh dan berkembang karena akan terus dianggap mahal,” jelas Fabby.
Fabby menutup wawancara ini dengan himbauan pada pemerintah dan PLN untuk mengejar target penambahan kapasitas energi terbarukan yang sudah direncanakan dalam RUPTL untuk menjadi game changer dalam mendongkrak pengaruh Indonesia di kawasan Asia Tenggara.