Para pemangku kepentingan di Indonesia sudah menyadari bahwa perubahan iklim menjadi aspek penting dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. Selain pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan sektor-sektor kunci sesuai kaidah pembangunan berkelanjutan, aspek penurunan emisi juga memerlukan perhatian khusus agar cepat mencapai emisi nol bersih. Atas dasar tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerjasama dengan Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) mengadakan sebuah paparan dan diskusi terkait peta jalan menuju emisi nol bersih Indonesia pada 2050.
Pada kesempatan ini Koordinator Riset IESR, Pamela Simamora, menyatakan bahwa dalam membentuk strategi untuk mencapai penurunan emisi adalah dengan mengingat kembali Perjanjian Paris tahun 2015 tentang perubahan iklim. Terkait pada perjanjian dan target global tersebut, Pamela mengatakan bahwa pemerintah perlu mengacu kembali kepada komitmen Indonesia (melalui UU No.16 Tahun 2016, tentang Pengesahan Persetujuan Paris) untuk menurunkan emisi sebanyak 29% dengan upaya sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030.
Namun pada perjalanannya, sesuai laporan yang dikeluarkan oleh Climate Action Tracker pada tahun 2020, dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia pada tahun tersebut tidak sejalan dengan target yang disetujui pada Persetujuan Paris. Selain itu, dokumen Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) Indonesia juga tidak menunjukan nir emisi sebagai target yang harus dicapai pada tahun 2050. Pamela mengatakan, perencanaan yang dilakukan pemerintah melalui dokumen-dokumen perencanaan pembangunan rendah karbon tadi tidak sejalan dengan tren penurunan harga listrik dengan sumber energi terbarukan (yang diharapkan dapat berkontribusi banyak terhadap penurunan emisi).
Studi IESR yang berjudul Deep Decarbonization on Indonesia’s Energy System: A Pathway to Zero Emission by 2050 menunjukkan bahwa sektor energi (pembangkit listrik, transportasi dan industri) dapat mencapai nol emisi pada tahun 2050 karena sudah mencapai kelayakan teknis dan ekonomis. Peta jalan tersebut memiliki 4 pilar utama, yaitu energi terbarukan, elektrifikasi, pengurangan bahan bakar fosil, dan bahan bakar bersih. Studi tersebut menyatakan bahwa peningkatan drastis penggunaan energi terbarukan, kendaraan listrik, dan pemanas listrik perlu terjadi dalam dekade ini.
Kajian ini juga menyatakan perlunya penerapan moratorium batubara untuk mencapai puncak karbon dari batubara pada tahun 2025. Studi ini juga memproyeksikan bahwa sektor ketenagalistrikan akan menjadi sektor pertama yang bebas emisi karbon pada tahun 2045 dengan memanfaatkan sumber energi terbarukan dan teknologi baterai. Atas dasar inilah, Pamela mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia bisa lebih meningkatkan target penurunan emisi.
Menanggapi paparan tersebut, Satya Widya Yudha dari Dewan Energi Nasional mengatakan bahwa sejalan dengan Persetujuan Paris, Indonesia juga memiliki target dan visi Indonesia Emas pada tahun 2045 yang menargetkan pertumbuhan ekonomi 6%. Atas target tersebut Indonesia memiliki strategi untuk mengembangkan dan menumbuhkan industri manufaktur dan jasa, yang tentunya akan mengikuti kaidah pertumbuhan hijau. Berdasarkan hal ini Satya mengatakan bahwa konsumsi energi akan meningkat juga, sehingga puncak emisi nasional dirasa masih sulit dicapai bahkan pada tahun 2040-2050.
Selain aspek pertumbuhan industri, Satya juga menanggapi masukan IESR terkait moratorium batubara yang perlu diberhentikan penggunaannya secepat mungkin. Satya menjelaskan bahwa ada resiko hukum dan dampak finansial yang merugikan Indonesia jika penggunaan batubara secepatnya dihentikan, hal ini dikhawatirkan menjadi kebijakan yang prematur dan dirasa masih perlu banyak dipelajari lagi strategi implementasinya.
Hal serupa disampaikan juga oleh Chrisnawan Anditya, Direktur dari Direktorat Aneka Energi Terbarukan, Ditjen. EBTKE, Kementerian ESDM. Chrisnawan menyatakan bahwa adanya kebutuhan studi terkait penghitungan puncak emisi Indonesia yang meliputi seluruh Industri yang terkait. Hal ini dirasa menjadi hal yang sangat penting sebagai basis perencanaan pembangunan net zero emission di Indonesia. Chrisnawan menyampaikan pula, bahwasanya penggunaan teknologi baru seperti baterai dan pumped storage perlu ditargetkan oleh Kementerian ESDM untuk diaplikasikan pada 2030.
Disamping itu, aspek penting akibat pandemi COVID-19 juga sempat dibahas pada acara ini. Rachmat Mardiana, Direktur dari Direktorat Energi, Telekomunikasi, dan Komunikasi Bappenas, menyatakan bahwa diproyeksikan sampai dengan tahun 2022, perubahan dinamika geopolitik global dan pemulihan ekonomi global yang belum merata sedikit banyak akan menjadi tantangan sendiri untuk Indonesia, khususnya dalam hal transisi energi. Untuk mengimbangi hal ini, Rachmat mengatakan Indonesia perlu dengan cepat merubah struktur ekonomi, menjadi ekonomi yang lebih hijau. Beliau juga menyampaikan bahwa sub-sektor energi memiliki struktur yang sangat kompleks sehingga mempengaruhi struktur sektor lain seperti ekonomi dan populasi, hal ini menyimpulkan bahwa perencanaan energi perlu dilakukan melalui kajian yang teliti.
Noor Syaifudin, Analis Kebijakan Ahli Madya PKPPIM BKF, Kemenkeu menyampaikan bahwa menuju target penurunan emisi 41%, Indonesia memerlukan bantuan global, yang sejauh ini didapati hanya berbentuk pinjaman yang memiliki konsekuensi pengembalian dana publik. Selain hal ini, Noor juga mengatakan perlunya mempersiapkan strategi pemanfaatan dan optimalisasi sumberdaya alam yang ada, juga strategi transisi energi yang terjangkau untuk Indonesia. Menutup sesi panel, Noor menyampaikan pemerintah daerah juga memiliki andil penting dalam mencapai target emisi nol bersih.
Sebagai penutup acara, panelis dan pembicara bersepakat bahwa keterlibatan anak muda dan mahasiswa dalam proses transisi energi dan mensukseskan target emisi nol bersih sangatlah penting. Sebagai contoh, mahasiswa bisa melakukan riset-riset yang berkaitan dengan efisiensi teknologi sehingga biaya energi baru terbarukan diharapkan akan menjadi semakin murah. Hal ini diharapkan dapat mempermudah pembuatan kebijakan pendukung, yang selama ini masih dipengaruhi anggapan bahwa energi terbarukan merupakan teknologi yang mahal.
Paparan Pamela Simamora, Peta Jalan Menuju sektor energi nol emisi di 2050
Shareable_Net Zero Indonesia by 2050_ Roadmap for Clean, Affordable, and Secure Energy