PLN Ingin Amankan Pasokan

Direktur Bisnis Regional Kalimantan PLN Djoko Rahardjo Abumanan mengatakan, pihaknya mengajukan usul kepada pemerintah agar bisa menjadi pelaksana pengelola tambang batubara. Langkah itu untuk mengamankan pasokan batubara bagi pembangkit-pembangkit yang dioperasikan PLN. Saat ini, ketergantungan terhadap pasokan batubara dari perusahaan tambang dinilai cukup besar.

“Untuk membangun pembangkit listrik mulut tambang, tak hanya menguasai pembangkitnya, tetapi juga tambangnya. Ini bertujuan untuk mengamankan pasokan batubara untuk kebutuhan pembangkit,” ujar Djoko dalam konferensi pers, Jumat (21/7), di Jakarta.

Djoko mengatakan, pada saat harga batubara sedang murah, banyak perusahaan batubara yang menawarkan batubara mereka ke PLN. Sebaliknya, saat harga batubara sedang tinggi, perusahaan-perusahaan tersebut enggan menjual ke PLN atau lebih memilih mengekspor batubara tersebut.

“Keamanan pasokan penting di tengah dorongan pemerintah untuk membangun pembangkit listrik tenaga uap di mulut tambang (di lokasi tambang batubara),” katanya.

Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka menambahkan, mayoritas tambang batubara di Indonesia dikelola swasta, bukan negara. Menurut dia, di banyak negara, sumber tambang batubara dikelola penuh oleh negara. Batubara dianggap penting sebagai sumber pasokan energi.

“Sekitar 80 persen hasil produksi tambang di Indonesia diekspor dan sisanya untuk kebutuhan di dalam negeri. Dengan penguasaan tambang batubara, kecukupan pasokan batubara PLN lebih terjamin,” kata Suprateka.

Dalam program 35.000 megawatt (MW), ada tujuh proyek pembangunan PLTU mulut tambang di Kalimantan, yaitu PLTU Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 3, 4, dan 5 dengan total kapasitas 600 MW, PLTU Kalimantan Timur 3, 5, dan 6 dengan total kapasitas 541 MW, dan PLTU Kalimantan Timur-Utara berkapasitas 400 MW. Proyek pembangkit tersebut ditargetkan bisa beroperasi secepatnya pada 2019.

Dalam bauran sumber energi pembangkit PLN, penggunaan batubara masih cukup dominan, yakni lebih dari 50 persen dari pembangkit. Pada 2016, konsumsi batubara oleh pembangkit PLN sebanyak 50,5 juta ton. Berikutnya, gas dengan porsi sekitar 20 persen, solar 11 persen, dan sisanya berupa tenaga hidro dan panas bumi.

Hati-hati

Secara terpisah, Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan, PLN harus berhati-hati dengan rencana memiliki aset tambang batubara untuk kebutuhan perusahaan. Menurut dia, tren di dunia menunjukkan perlambatan pembangunan PLTU berbahan bakar energi fosil (batubara) yang dikenal tidak ramah lingkungan.

“Banyak yang beralih ke sumber energi terbarukan. Selain teknologi di bidang ini kian berkembang, ongkosnya pun akan semakin murah dibandingkan dengan pembangkit berbahan bakar batubara,” kata Fabby.

Menurut Fabby, cukup banyak contoh ongkos produksi listrik dari energi terbarukan lebih murah atau relatif sama dengan listrik yang diproduksi dari batubara. Saat ini di Amerika Serikat, lanjut dia, dengan teknologi tenaga surya dan penyimpanan daya, harga listriknya sekitar 4,5 sen dollar AS per kilowatt jam.

“Teknologi-teknologi energi terbarukan yang murah akan masuk ke Indonesia. PLN harus mencermati ini,” kata Fabby.

Oleh karena itu, tambah Fabby, PLN berpotensi menghadapi risiko finansial jika bersikeras ingin memiliki hak kelola tambang. Hal ini terkait perkembangan teknologi energi terbarukan yang akan mengubah peta permintaan listrik. (APO)

Sumber : kompas.id.

Share on :